01 Januari 2006 12:50:04
Soal krusial dan mendesak bagi pemerintahan nasional (dan Propinsi Jawa Timur khususnya) adalah limbah pendidikan tinggi yang dari tahun ke tahun tidak dapat dielakkan. Pendidikan tinggi tidak otomatis jaminan mendapatkan pekerjaan. Apalagi lulusan di bawah itu bukan? Mereka-usia-usia angkatan kerja itu-tanggung jawab siapakah? Menampung setiap lulusan melalui kebijakan langsung pemerintah membuka lapangan kerja itu tidak mudah. Berapa lowongan penerimaan di instansi pemerintah dan badan usaha milik pemerintah? Berapa besar lowongan di sektor swasta yang dapat menyerap tenaga terdidik tersebut?
Surabaya - Soal krusial dan mendesak bagi pemerintahan nasional (dan Propinsi Jawa Timur khususnya) adalah limbah pendidikan tinggi yang dari tahun ke tahun tidak dapat dielakkan. Pendidikan tinggi tidak otomatis jaminan mendapatkan pekerjaan. Apalagi lulusan di bawah itu bukan? Mereka-usia-usia angkatan kerja itu-tanggung jawab siapakah? Menampung setiap lulusan melalui kebijakan langsung pemerintah membuka lapangan kerja itu tidak mudah. Berapa lowongan penerimaan di instansi pemerintah dan badan usaha milik pemerintah? Berapa besar lowongan di sektor swasta yang dapat menyerap tenaga terdidik tersebut?
Maka perlu ada upaya baru pemerintah menyiapkan usaha jangka jauh agar anak didik tidak semata-mata dididik mencari lowongan kerja. Tetapi sebisa mungkin membantu pemerintah dalam menciptakan kegiatan ekonomi dan lapangan pekerjaan. Masyarakat kewiraswastaan idealnya menjadi ide program pemerintahan dan pendidikan. Artinya, sekolah-sekolah dan kampus-kampus perlu ditekankan arah orientasinya tidak semata-mata melahirkan pencari kerja. Namun juga ajang penyadaran penyiapan sumber daya insani yang siap mempekerjakan dirinya sendiri.
Artinya, setiap angkatan usia kerja sudah disiapkan sejak dini untuk dapat mengatasi kemandirian ekonominya melalui beberapa alternative, sebagai pekerja atau sebagai pencipta lapangan kerja. Sistem pendidikan yang dapat menyadarkan ruang publik (siswa khususnya), bahwa ijazah dan pemerintah tidak menjamin tersedianya lowongan pekerjaan. Justru, melalui pendidikan itu, sesungguhnya diharapkan dapat membantu pemerintah dalam menciptakan lahan dan kegiatan ekonomi.
Mental Kuli, Mental Inlander
Kemana anak-anak kita itu? Kemana anak-anak lulusan SLTA, dan perguruan tinggi itu? Secara alamiah adalah keniscayaan mereka membutuhkan lahan untuk mengais dan buat kelanjutan hidup. Keniscayaan tersedianya pencaharian. Bahwa secara sosial dan sistemik, anak-anak terdidik ini kecil kemungkinan kembali ke desa mengupayakan kegiatan ekonomi konvensional di desanya. Mayoritas mereka menjadi masyarakat urban di perkotaan untuk mendapatkan kerja di sektor modern (industri).
Mental kuli, mental inlander. Itulah yang menghadirkan soal rumit di kalangan pemerintahan. Bahkan juga asosiasi bisnis dan pengusaha, terutama jika terjadi isu UMR dan PHK. Soal-soal buruh menjadi soal yang penting bagi suatu bangsa. Bahkan, dalam kajian ekonomi, soal buruh menjadi kajian dalam merumuskan teori-teori okonomi. Ekonomi Adam Smith, dan juga Marx-Ian, tidak lain menempatkan buruh sebagai bahasan tersendiri.
Namun, menjadi persoalan jika semua orang dididik menjadi masyarakat buruh. Sehingga menyebabkan nilai (tambah) buruh menjadi relatif rendah. Pada titik ekstrim, membanjirnya tenaga buruh, dan mengecilnya peluang penciptaan lapangan ekonomi dan pelaku wiraswasta, cenderung menimbulkan perbudakan sosial ekonomi, baik terselubung maupun sistematis terang-terangan. Harga buruh yang dikonstruksi melalui UMR menjadi kian murah dan murah, yang pada aspek manusiawi tidak cukup manusiawi, apalagi hal itu berdampak massal. Namun, mengupayakan harga buruh UMR lebih tinggi juga soal yang rumit bagi wiraswasta. Seperti terlukis dalam kejadian akhir tahun 2005 ini, soal kenaikan UMR yang selalu menjadi polemik hangat.
Hal tersebut menandakan bahwa, sediaan lapangan kerja/lowongan wiraswasta tidak cukup memadai dengan membanjirnya angkatan kerja (buruh). Menyalahkan masyarakat buruh yang menuntut hak agar dapat hidup cukup tidak tepat. Tetapi, mengorbankan kalangan pengusaha dan investor dengan menaikkan UMR yang tidak rasional secara bisnis, sama saja pembunuh massal, tidak saja soal investasinya tetapi juga konsekuensi PHK massal.
Lingkaran setan kemiskinan ini seolah buah simalakama. Dipotong sini, di situ marah, begitu sebaliknya. Rumit bagi pemerintah, masyarakat buruh (SPSI), asosiasi bisnis (KADIN), dan wiraswastawan. Namun tentunya harus ada kebijakan yang smart and smooth, dalam pengertian, memecahkan masalah tanpa mengorbankan pihak-pihak terkait namun dapat memberikan suatu jaminan harapan yang lebih kredibel dan kontinyu. Apakah kebijakan smart and smooth itu? Adalah keniscayaan hari ini untuk mengikis mentalitas kuli dan inlander melalui pendidikan nasional.
Reorientasi Visi Misi Pendidikan
Bahwa ujung pangkal dari angkatan kerja mayoritas merupakan pasokan dari sistem pendidikan nasional. Sadar atau tidak, sistem pendidikan nasional kita masih sekedar menyiapkan kebutuhan memenuhi pasaran lowongan pekerja, alias secara mental dididik menjadi buruh-buruh (kuli). Visi lulusan siap latih, pada dasarnya adalah kapasitas calon kuli, yang nasibnya sangat ditentukan dengan sediaan lowongan kerja.
Dengan demikian, pendidikan nasional kita hari ini, secara tidak sadar adalah suatu mindset pendidikan lanjutan era kolonial. Politik etis di negeri Hindia Belanda yang tidak lebih adalah konstruksi sistem pendidikan yang outcome-nya demi memenuhi jabatan/lowongan birokrasi pemerintah Hindia Belanda. Bersamaan itu, mental yang dikonstruksi penjajah menempatkan kaum pribumi tidak merdeka secara ekonomi. Sebagai buruh, bahkan lebih rendah alias kaum pidak pedarakan, kaum sudra. Bahkan dengan rodi dan romusha mereka tidak dibayar. Padahal di era dulunya masyarakat pribumi memiliki keahlian yang memadai dalam arus ekonomi di wilayah nusantara dan sekitarnya. Sebagai gambaran, ahli-ahli Eropa melukiskan orang Jawa tempo dulu –jauh sebelum era kolonialisme-adalah orang yang tangguh, dalam politik dan perdagangan, bahkan militer. (Baca: kisah Singosaren Kertanegara, dan Sumpah Palapa Gajah Mada).
Periode sejarah kolonialisasi di tanah nusantara (Hindia Belanda) menjadi suatu periode titik nadir tersediri. Peradaban bangsa Jawa dan nusantara umumnya, menjadi terjajah secara ekonomi politik. Bersamaan dengan prahara dan peralihan budaya, budaya Kehinduan/Kebudhaan menuju Islam dan Kolonialisasi. Silih warna budaya dan religi bersamaan dengan perang politik ekonomi dengan bangsa barat yang rakus sebagai buah falsafah renaisans.
Pendidikan nasional kita, dibangun di atas realitas mental ‘birokrasi’ ala Hindia Belanda. Proklamasi 17 Agustus 1945 yang semestinya menjadi ‘jembatan emas’ bagi bangsa Indonesia, sampai hari belum menampakkan kebanggaan kejayaan nasional. Seberang jembatan emas yang dimaksud Bung Karno, hari depan bangsa Indonesia yang adil dan makmur. Tafsir cita-cita kemerdekaan dalam soal hari ini adalah, mustinya tidak kita lihat kefakiran di masyarakat buruh perkotaan, pekerja informal, pun masyarakat pedesaan.
Namun sayangnya, sampai hari ini pendidikan nasional kita tidak sadar telah ikut serta melahirkan kefakiran sistemik pada anak didik kita. Melahirkan limbah pendidikan, yang bak gelombang berjalan dari tahun ke tahun. Jika ini terus-menerus, tanpa reorientasi, dikhawatirkan terlahir generasi terdidik yang tidak lebih sebagai limbah sosial.
Demi seberang jembatan emas bangsa ini, kiranya patut dipikirkan kembali bahwa, penyediaan sumber daya insani untuk hari depan bangsa adalah soal yang krusial. Citra dan masa depan bangsa kita terlukis pada citra pendidikan kita hari ini. Mental kuli, mental inlander; konstruksi kolonial sudah usang untuk kita pertahankan. Secara sistem berarti, tugas di Departemen Pendidikan Nasional untuk mereorientasikan visi-misi pendidikan nasional agar, kita menjadi tuan di negeri sendiri, dalam mengupayakan soal-soal keekonomian, demi hidup sama rasa bahagia. Tidak hanya kemerdekaan (ekonomi) kaum elit, namun juga untuk rakyat seluruhnya, termasuk kaum buruh.
Kampus, dan Jaminan Hari Depan?
Pertanyaan yang sering saya lontarkan kepada orang tua murid/mahasiswa seringkali mendapatkan jawaban yang mirip-mirip, seolah pengulangan dari yang satu ke yang lain. Pernyataan klasik masyarakat kita sampai hari ini, “Anak saya sekolahkan agar kelak dapat pekerjaan (pegawai negeri)�. Di sisi lain, saya menemukan WNI keluarga etnis Tionghoa, dengan pertanyaan serupa tetapi jawabannya juga sama dari satu ke yang lainnya. “Anak saya sekolahkan agar kelak dapat meneruskan bisnis ini, bisnis itu. Buat perusahaan ini perusahaan itu�. Ada stereotip mentalitas yang bercokol di benak masyarakat pribumi yang sebagian besar bercita-cita mental pegawai (maaf: buruh), serta masyarakat etnis Tionghoa yang lebih suka wiraswasta.
Setiap tahun SPMB kampus negeri, menggambarkan antusiasme besar anak didik kita. Perbandingan kompetisi 1:10 adalah biasa. Bahkan ada suatu jurusan tertentu yang perbandingan kompetisinya 1:20. Satu kursi mahasiswa diperebutkan oleh rentang 10-20 mahasiswa. Yang diterima kampus negeri secara umum adalah anak-anak yang pandai (berotak encer), sisianya yang tidak diterima baru ke PTS. Artinya sangat sedikit kampus swasta yang dijadikan pilihan pertama bagi siswa excellent.
Namun, ironisnya, anak-anak yang rata-rata di SLTA di kelasnya rangking 1-3 itu mendapatkan pendidikan tinggi negeri sebagai agen lowongan kerja. Seringkali gambaran yang diberikan di kampus menyesatkan. Di semester-semester awal, demi kebanggaan jurusan/program studi, seringkali mengimajinasikan pada hal-hal yang kurang realistis. “Nanti semua akan bekerja sebagai pegawai di sektor ini sektor itu…dan seterusnya.� Mungkin benar untuk jurusan tertentu, tetapi tidak benar untuk semua jurusan seperti itu.
Anak-anak cerdas di negeri ini, secara sistematik melanjutkan di PTN excellent center. Dan, sebagian besar konstruksi pendidikan tinggi kita masih mentalitas mencetak kuli-kuli pabrik. Sangat sedikit pendidikan tinggi negeri yang secara sistematik mengorientasikan lulusannya menjadi wiraswasta. Kalaupun ada, itu sekedar opini/wacana orang per orang. Namun di lain pihak, ada beberapa kampus swasta tertentu sangat menekankan sistem pendidikan yang entreprenership.
Melihat prospek pemerintahan nasional yang sedang kesulitan -hidup di bawah hutang, serta ketidakstabilan ekonomi politik- rasanya masa masa depan lulusan pendidikan tinggi nasional kita begitu suram. Mengandalkan menjadi PNS rasa-rasanya menambah beban APBN pemerintah. Mengandalkan lapangan kerja di pabrik-pabrik dan perkantoran, rasanya kian tidak kompetitif (rata-rata model kontrak kerja 2 tahun). Bahkan harus ada persaingan antara lulusan perguruan tinggi dengan lulusan SLTA untuk tenaga kantoran, operator dan mandor. Mengandalkan lowongan di BUMN, padahal trennya adalah perampingan dan efisiensi personalia dan sistem kontrak.
Melihat fenomena ini, ada dua hal yang memungkinkan dapat dilakukan dalam pendidikan tinggi nasional kita antara lain: pertama visi mengekspor tenaga kerja ‘terdidik dan terampil’ di pasaran internasional. Konsekuensinya adalah standardisasi jurusan akademik internasional, profesionalisme, dan kemampuan bahasa asing. Dan, ini masalah yang tidak gampang. Melahirkan angkatan kerja kualitas global juga menuntut sumber daya yang besar, sarana prasarana kampus serta tenaga pendidik yang bertaraf ‘internasional’ pula. Nah, ujung-ujungnya adalah duit yang tidak memadai. Sementara kita tahu sendiri, masalah gaji dosen-dosen dan profesor kita masih sangat rendah dibanding dengan pekerjaan profesionalnya.
Cara kedua, adalah menyadarkan dan memotivasi anak didik dalam sistem pendidikan nasional bahwa; kampus bukan agen lowongan kerja. Pendidikan nasional, (kampus negeri) terutama, sebaiknya realistis dalam memberikan gambaran hari depan pasokan tenaga kerja, lowongan kerja, kemungkinan menjadi wiraswasta, serta kemungkinan tidak laku dalam pasaran kerja alias pengangguran.
Pepatah sedia payung sebelum hujan, adalah falsafah kuno yang masih relevan untuk hari ini. Melatih anak-anak didik untuk dapat mandiri, menciptakan keekonomian buat diri sendiri pada skala minimal; adalah cita-cita mulia. Di samping tidak merepotkan pemerintah dan almamater, ini akan melahirkan masa depan masyarakat wiraswasta yang terdidik dan sistematis.
Surabaya, 1 Januari 2006
Penulis :
EDI SUPARNO
Alumnus ITS, bekerja sebagai wiraswasta dan pernah menjabat sebagai Ketua Badko HMI Jawa Timur.