Dear God,
We Want to Be The Sun or The Moon more than The Star

Ya Tuhan, Jadikanlah kami seperti Matahari, seperti Bulan dan seperti Bintang-Bintang


Terima kasih atas kunjungan anda!




Jumat, 31 Oktober 2008

Lain Dunia

Ketika aku bisa, aku tidak mau.

Ketika aku mau, aku tidak bisa.

Bukannya aku membencimu, tapi karena aku tidak tahu cara menyukaimu.

Bukannya aku tidak suka, tapi karena aku tidak tahu cara menikmatinya

Just Make A Dream

Just take the first step and the result is a prize for you. Just have a dream. Say it for yourself.....! And let it come true! Don't keep in mind to much how it will come to you

Malaikat

Ketika kita menemui masalah dan kita berharap seorang kawan atau keluarga mau dan membantu kita. Namun saat seseorang tidak membantu kita cenderung untuk menyalahkan orang tersebut. Kita terlalu berharap banyak padanya, kita terlalu terpaku padanya. Seolah suatu bantuan berasal dari dia seorang saja, kita tidak sadar bahwa ada orang lain yang mungkin bisa membantu. Ketika permasalahan datang, yang kita perlukan penyelesaian. Darimanapun penyelesaian itu berasal adalah bukan masalah. Mungkin datang dari orang yang baru kita kenal 10 menit yang lalu, kawan lama, seseorang asing atau justru dari orang yang kita kenal namun kita meragukan kemampuan dia selama ini. Di saat posisi sulit kadang Allah mengirimkan sahabat, orang tua, bahkan makhluk kecil sebagai malaikat kita. Namun sering kita tidak menyadari hal itu.

Dear Friend

For A friend........

A long time ago.........

We always go to school together.

Even we are different degree.

You are a year older then me.....

Even I think that you didn't so lucky then me.

I know you are one of bright people I met.

We are still close each other, aren't we?

Every time we meet, we were talking about all thing

I don't know, I see you in my dream many times lately.

I feel that you need someone to talk with, or someone to help.........

I really want to...

Then I decide to visit you ...

To talk with you

Plan to go to some place that we don't know before...

I want you to know that there is other world outside

There is a different life there.........

Even I don't know how it will last.

Dear Friend

Have good day for you

Mengunjungi Teman

Kurencanakan pagi tadi, seusai shalat Jumat, aku akan mampir ke rumah teman waktu berangkat sekolah dulu. Meski kami beda kelas dan dia di satu tingkat di atasku, aku ingin menjaga agar hubungan kami berjalan baik. Tidak peduli siapa dia atau jadi apapun dia, tiap kali kami ketemu, bertukar pikiran mengenai semua masalah terutama kondisi negara saat ini yang sedang maraknya calon presiden buat pemilu 2009. Kadang juga tentang info terbaru yang terjadi di masyarakat. Seingatku tiga bulan lalu, waktu lewat depan rumahnya namun kami tidak bisa berbicara banyak. Saat itu waktunya tidak tepat, itu seperti dalam pikiranku saat itu. Aku tak tau apa yang terjadi padanya, sudah sekian lama aku tidak pernah berjumpa dengannya. Sudah sekian lama tidak pernah keluar menemui teman atau pergi ke suatu tempat. Temanku yang satu ini tidak keluar lebih dari 200 meter persegi, kira-kira 8 tahun lamanya. Dia juga tidak pernah meninggalkan desa kami, ke sawahpun juga tidak pernah. Sepertinya dia menikmati kehidupan dia sendiri beserta orang tua, saudara dan keponakannya dan tetangga disamping rumah. Dan yang terjadi adalah komentar miring dari masyarakat, kebanyakan mereka termasuk aku menyebutnya suatu hal yang aneh. Betapa tidak, ketika orang lain pergi kesana kemari dan jenuh tinggal di rumah seharian, sepertinya dia menikmati kesendiriannya. Apalagi beberapa bulan lalu, ayahnya meninggal dunia dan aku sempat berpikir tentang nasib temanku ini kelak. Ketika orang heran dan memandang negatif terhadap apa yang dia lakukan, aku justru sebaliknya aku memandang positif terhadap apa yang dia lakukan. Orang lain banyak yang sibuk dengan urusan keduniaan, menurutku dia justru jauh kehidupan dunia. Ketika temanku yang lain tidak setuju dengan apa yang dia lakukan, aku justru sedikit membelanya. Karena apa yang orang lain katakan belum tentu sesuai dengan apa yang di alami sebenarnya. Sesorang berbeda dengan yang lain, dan belum tentu apa yang orang senang lakukan membuat orang lain senang juga dan kadang justru membuat mereka tersiksa. Seperti kehidupan para pertapa, yang tidak mengejar materi namun hidup menyendiri di hutan dan bertapa. Menurutku itu suatu julukan yang pas untuknya. Suatu hal yang sulit bukan, ketika orang sibuk memikirkan dengan kemewahan, kendaraan, baju bagus dan bersenang-senang, sementara dia merasa cukup dengan dunia di sekitarnya. Waktu kutanya kenapa di rumah saja, sepertinya yang dia perlukan makan, tidur, bermain sama keponakan, lihat tv atau dengar dari radio. Akhir bulan lalu aku bersama teman merencanakan sesuatu padanya, kami ingin membuat sesuatu yang berbeda padanya. Kami ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu di luar sana, kami ingin menunjukkan padanya bahwa diluar sana banyak orang melakukan ini dan itu dalam kesehariannya. Kami ingin membantu dia menemukan dirinya kembali, layaknya orang yang hidup bertetangga, bermasyarakat atau bernegara. Kami ingin mengatakan padanya bahwa ada kehidupan di luar sana yang harus dia raih, kami juga ingin mengatakan bahwa orang tua dan kerabat belum cukup. Suatu saat dia memerlukan bersosial dengan masyarakat yang lain, atau mungkin membentuk keluarga sendiri. Kalau masalah ini target kami tidak terlalu tinggi, kami hanya menunjukkan bahwa ada dunia lain di luar sana yang mungkin bisa membuat dia bahagia atau merasa hidup...! Dia tidak sendirian di dunia ini...!

Senin, 27 Oktober 2008

to overcome really shy - jet li

july 15, 2007: 14:34 www.jetli.com

Question :

You say that you are really shy , I really like to know how do you overcome to one's shyness?

Seraphina

Jet's Response

I learned English in my 30s. When I first started out, I was afraid I would be bad at it and people would laugh at me when I use it. So I was worried about other people's perception. But then I realized that when I see someone who only knows English and is learning Chinese. I am happy to hear him just say "ni hao." So if you just use your heart to try your best in whatever you do, then that will be fine. Language is a communication tool. Without saying anything, just a smile, the other person can feel your heart. Do your best and don't be too afraid of what others think.

Jet Li -www.jetli.com

I am not Christian, Muslim or Jewish so I don't know enough about those religions to make a reasonable comment. It seems that all major religions have similar inspiration -- to love all people, to spread peace and to help your fellow human being. Do I think that an understanding by all people that there is one divine creative source for all religious truths would bring about a global end to conflict? No, I don't. It is impossible. If there was absolutely no conflict then this universe would no longer exist as we know it. The universe is dependent upon conflict -- it requires it -- on every level from the sub-atomic to the social or psychological to the forces that maintain balance in each galaxy and beyond. Absolute neutrality, or "wu ji" does not exist in this universe. We have the division and separation known as "tai ji" and this makes opposition inevitable. There is yin and yang in all things and as a result, conflict in all things, people, viewpoints and ideas. At some times the balance between one side and the other might be less, which can give the outward appearance that there is a general peace or neutrality, but there can not be 100% consensus of opinion on any one topic. There are only variations in the percentage of pros and cons. A dream while you sleep lasts only one night, and the experiences you had -- happiness or sadness -- weren't true. To Buddhists life is a dream of sorts. As we understand it, the human lifespan is typically under 100 years. This is a much longer period than one night, but if you think of 100 years as compared to the time-frame of the galaxy or the universe, then 100 years is like a single night. In the present moment, when you look back at the experiences of your life, how is the image in your head different than the images you remember from your dreams? It's just a memory -- just a dream. For myself, in the past 38 years, I've had happy times, and times when I've suffered -- a lot of emotions have occurred in the past 38 years -- but they are in my past. While I am awake in the current moment those emotions and experiences are nothing that I can hold in my hands. Just like a dream. It is the transitory nature of life. At the end of this "dream of life" you won't be able to hold it, and just like a sleeping dream all the experiences, riches, emotions, possessions -- they're all gone. There is no container for them except for your memories and imagination. When you learn to control your dreams your focus is on how to learn from the dream. It's not just an experience for the sake of having an experience. Everything in the dream isn't real so you learn not to hold on too tightly to what happens. Likewise, in this life, the emotions of the past only exist in your memory so you try not to hold on to them too tightly as well. When you're upset what comes next? Less upset .. then maybe a bit happy. It's all a cycle that repeats itself over time. When you understand the nature of life and see that all things are part of this cycle, you learn to detach yourself from the storms of life. That's why you learn to try and control your dreams. It gives you more control over understanding the process of the dream of life. For myself, attachment to the emotions of the past or future aren't as important as experiencing the life of the present. I don't want to live in the past -- it is a dream that has finished. I don't want to live in the future -- it is a dream that has not yet happened. I want to enjoy this moment right now. To live in the present, and try my best, and feel comfortable with the results that my best effort brings about. This is one of the reasons to train to understand your dreams.

Jet Li vs Me

Jet Li said :

When you learn something, always use the heart.

I said :

It's more difficult to make history than to learn

Djaka Lawung

Kisah Joko Lawung disarikan dari Sini

Katjarijos Sang Prabu Brawidjaja ingkang kaping II inggih Raden Djaka Lawung, ingkang sakelangkung lingsem ing penggalih, sebab sanget kaesi-esi dening ingkang garwa Dewi Retna Sekar dalah ingkang rama marasepuh Adipati Tjiung Gupita, sesampunipun masrahaken pusaraning pradja Madjapait dhateng ingkang raji Pangeran Anom Minak Pijungan, ingkang ladjeng adjedjuluk Prabu Brawidjaja ingkang kaping III. Ladjeng djengkar saking kedhaton, tindakipun mendhem kula, nimpal keli, tanpa kendel tumoleh, ngener mangidul, kesupen dhateng ingkang katilar, nering karsa sumedija nindakake dhawuhing ingkang ibu swargi. Ing sakmargi-margi tansah ngawuningani alam gumelar ingkang sarwi elok, edi, asri, nengsemaken. Penggalihipun Sang Prabu kasengsem sanget, kadudut, kapiluja pirsa kawontenan mekaten wau punika. Ing salebeting kalbu rumaos kagigah, binuka saja kentjeng sedijanipun. Thukuling raos ladjeng tansah kagungan tresna ing sesamining tumitah, mboten mbedak-ambedakaken; malah saja ngrembaka, ing wasana mahanani santosaning penggalih anggonipun badhe mangudi dhateng kaluhuran. Saja malih menawi emut nalika taksih wonten ing salebeting kedhaton, tansah dipun tjampahi, dipun tjamah dening ingkang garwa punapa dene dipun sepelekaken. Inggih ing salebeting kawontenan punika Sang Prabu rumaos, bilih penggalihipun kirang santosa, mijar-mijur, gampil kapikut tuwin kapikat dening pakartining pantja drija ingkang damelipun namung adjak-adjak risak thok kemawon. Pramila sadaja kala wau ladjeng anambahi santosaning penggalih, kentjeng sedijaning tijas; ingkang mekaten kala wau andjalari tindaking Sang Prabu saja mantep, madhep, terus tanpa kendel, tan ngetang tansajaning marga, mboten kepengin dhahar, ngundjuk punapa dene sare, ngantos sariranipun katingal kera aking persasat namung kantun gagra kusika.

Benter soroting Hijang Bagaskara ing wantji tengange lan asreping hawa ing wantji abijoring Sang Kartika, babar pisan mboten karaos, ing salebeting tyas namun tansah kumedah-kedah inggal saged mangertosi punapa sedjatosipun ingkang dinawuhaken rama ibunipun swargi kok wanter sanget.

Mboten kepetang pinten dangunipun anggenipun tindak nilar kedhaton, sampun dumugi ing pinggiring bengawan Brantas ingkang sisih ler. Ing papan ngriku Sang Prabu sumedija aso sawatawis, kedjawi kalijan ngentosi tuntasing riwe sarta sajahing sarira, ing salebeting ngaso kala wau, Sang Prabu emut dhateng panguwuhing garwa dalasan mara-sepuh, ingkang kalih-kalihipun sampun sami kaperdjaja, bab anggenipun tansah damel sisiping rembag, ing wusana nuwuhaken risaking kawontenan. Wekasan Sang Prabu ladjeng ngupadi palenggahan ingkang prajogi, inggih punika sendhe-sendhe ing kadjeng ageng sapinggiring bengawan Brantas kala wau. Amargi kenging siliring Hijang Samirana, sarira keraos seger, ngantos mboten kraos lijer-lijer, wekasan ngantos sare kepatos.

Ing wusana tengah-tengahing sare Sang Prabu njumpena kados-kados rinawuhan ingkang rama kanthi paring dhawuh mekaten: “Ngger Djaka Lawung putraningsun pribadi, kaja ing wektu dina samengko, sira wus karasa lan ngrumangsani sekabehaning kaluputanmu, dhek nalika sira ngasta pusaraning pradja Madjapait. Kaja nalika ingsun bakal surud wus paring uninga marang sira, jen sira kudu wasis djumeneng dadi pengembaning negara Madjapait. Ora kena mbedak-mbedakake marang sidji lan sidjining kawula, paribasane mban tjinde mban siladan, lan tansah kudu tresna lahir trusing batin tumrap marang sekabehaning para kawula. Kudu wani sengsem marang tumindak kautaman, ninggal marang sekabehaning tumindak kelahiran, ja ing alam kanisthan. Nanging djebul kosokbaline, sira lena marang sekabehing piwelingingsun apadene piweling ibunira. Wekasan sira mung tansah ngumbar hardaning kamurkan, ora kersa sumungkem dalasan manembah ing ngersaning Hijang Bagas Puruwa, malah ngungkurake. Wekasan sira gampang kapikut marang bebudjukane si Adipati Tjiung Gupita lan anake si Retna Sekar. Sira tansah kelu marang gebijaring kadonjan, datan kersa ngemuti jen ta kahanane djagad raja mangkene tansah owah lan gingsir. Mengertija ngger, jen sira ana ing sadjeroning lali, kuwi kang ana kabeh mung marang nistha, jen sira dumunung ana ing sakdjerone eling, kabeh kuwi mau sedjatine dalan kang tumudju marang kaluhuran. Mula saka kuwi jen pantjen ing wektu dina iki sira wus wiwit binuka rasanira, elinga marang djedjering djagad, ja djagad gedhe kang den arani djagad raja, utawa ja djagadira pribadi kang den arani bawana setra. Lan jen pantjen sira njata-njata temen sumedija tumindak kang tumudju marang kaluhuran djati, pirsa marang asal mulanira, weruh marang sedjatine djiwangga, mara noleha mangidul, delengen ing puntjaking gunung Ardjuna kae, sira sedjatine ja wus dumunung ing kana.”

Sinareng Sang Prabu noleh mangidul, ladjeng anedija mirsani puntjaking redi Ardjuna, katingal tjahja manther saksada lanang ngantos sundhul ngawijat. Dene Sang Prabu rumaos kados-kados sampun lenggah dumunung ing puntjaking Arga Ardjuna ngriku. Sareng Sang Prabu mirsani kanan kering, tjetha sanget bilih arga punika ingkang winastanan arga bawera. Ing sisih ler katingal pradja Madjapait kanthi wela-wela, ing sisih wetan katingal pareden bebandjengan, sisih kidul katingal pesabinan idjem rojo-rojo. Saja kraos wonten ing puntjaking redi kasebat. Wosipun saged amirsani kanthi tjetha wela-wela lan mboten kaling-kalingan punapa-punapa, inggih punika kang den wastani tanpa warana.

Ing saladjengipun ingkang rama paring dhawuh malih, mekaten: “Mangertija ngger, jen sedjatine ing putjuking gunung Ardjuna kana kae, papane ramanira dhek djaman kala semana mesu brata, mangesthi ing Hijang Bagas Puruwa, mudja lan mudji akanthi nindakake talak brata, datan sare, datan dhahar, mung tansah mindeng madijaning Guwa Laja, njenjuwun supaja bisa pinaringan turun kang ing tembe saged gumanti kepraboning pradja Madjapait, jen wus tumeka titi wantji ramanira kundur ana ing Hindrabawana. Awit wus sawatara warsa anggeningsun palakrama kelawan ibunira, nanging meksa isih durung pinaringan turun. Kang mengkono mau rama rumaos ketjalan lari tumrap pamangkuning negara, jen ta tumeka kukuting angganingsun isih durung pinaringan putra. Ja sanadijan abot dikaja apa, djer kanggo kamuljaning putra wajah, mula ramanira ja ora kagungan pangresula, djer kuwi wus dadi kuwadjibane ramanira pribadi.

Apadene lelakone ibunira, dhek nalikane ingsun tinggal ana ing kedhaton, sakperlu andjaga keputren, lan isen-isening kraton kabeh, ing wusana marga saka pokale si Darmawangsa, ibunira djengkar lolos saka keputren, parane mangulon, perlu ngupaja anane si Handaja Pati, ja kuwi warangka dalem ing Madjapait, kang ing wektu semana lagi ingsun utus mbedah tanah Djawa Tengah, perlu jasa pelabuhan ing Semarang. Dene tindake ibunira kalunta-lunta, nusup-nusup angajam wana, munggah gunung medhun djurang, nganti tumeka ing lelengkehing gunung Lawu sisih wetan.

Mangertia ngger, merga saja anggone nusup-nusup mau ilang sipating prameswarining Naga Binathara, malah kaja wus ilang trap-susilaning wanodija kang andana warih, pada bae karo wong tjilik kang datan kambah ing wulang wuruk. Kahanan kang mangkono mau kabeh disangga dening ibunira kanthi sabar nrima, sareh pikoleh, datan asesambat utawa angresula, kang ana mung emut, lan ateges ora lali marang kaluhuran lan emut jen ing djagad gumelar mono asipat owah miwah gingsir, malah penjungkeme tumrap Hijang Bagas Puruwa ditemeni, ora nglirwakake, rumaos ibunira, kaja wus utjul saka blengguning kanisthan. Sakbandjure ibunira tansah emut marang ingsun, ija ramaneki pribadi, kang lagi mesu brata kanggo keperluane negara lan kawula. Mulane sanadijan abot dikaja ngapa ibunira datan wigih nanggulangi rubedaning salira, djer kuwi kenaa kanggo panebusing putra wajah ing mbesuke.

Nanging bareng sire dhewe ngger, banget anggenira nglirwakake piwelingingsun, apadene piwelinge ibunira kang tansah nandhang papa tjintraka. Djebul tibame marang sira kosok balen banget. Dupeh sira wus darbe panguwasa, dupeh sira wus adarbe wenang tumrap negara lan kawula, ing wekasan mung anduweni sipat adigang, adigung adiguna, lali marang laku kautaman, ngumbar hardaning kamurkan, nggugu sakarepe dhewe, gampang kelu marang gebijaring djagad gumelar, suthik marang tetulung, adoh marang pamesu brata, ninggalake marang djedjering wong tuwa, apa rumangsanira dupeh wong atuwanira wus padha sirna. Ing satemah nampa pawelehing Hijang Sasangka Djati, sira ingatasing Nalendra Gung mung ditjamah dening garwanira tedhaking sudra. Rumangsanira wus kinadjenan lan kineringan dening sakpadha-pdha, lali jen kuwi mono kabeh mung dumunung ing alam kanisthan. Mula jen tjetha-tjetha sira wus ngrumangsani kabeh kaluputanira kanthi rasa kang djudjur, mara sawangen kae ing putjuking gunung. Wis ja ngger samene bae, adja kongsi sira lali maneh sekabehing piwelingingsun iki, jen pantjen sira kepengin muljakake turun-turunira kabeh nganti tumeka pungkasaning djaman.”

Sakrampungipun dhawuhipun ingkang rama, Djaka Lawung inggih Prabu Brawidjaja ingkang kaping kalih, sampun rumaos lenggah wonten ing putjuking redi Ardjuna madjeng mangaler. Nanging sanget andadosaken kedjoting penggalih, sareng mirsani sariranipun ageng inggil, asta dalasan ampejanipun sarwi ageng kebak rikma, kenakanipun pandjang-pandjang, rikma gimbal, djenggot miwah rawisipun pandjang. Persasat denawa (raseksa) ingkang anggegirisi. Rumaos ngagem agem-ageman sarwi pethak, kados pangagemaning para pandhita. Ing salebeting penggalih sanget lingsem dhateng Hijang Bagaskara, dene ingatasing putra Nalendra kok ladjeng saged mawujud denawa ingkang anggegirisi sanget.

Mekaten kala wau kawontenanipun Sang Prabu Brawidjaja, ingkang nembe tapa njingkiri papan keramenan, nanging kados-kados klentu marginipun, awit anggenipun gantos wewudjudanipun anggegirisi. Punika sedaja nelakaken, bilih satunggaling djanma ingkang nembe tumindak nilar dhateng kaluhuran, tansah ngumbar hardaning kamurkan, wusana ladjeng tebat dhateng Hijang Bagas Puruwa. Senadijan tata lahiripun sampun miwiti pamesu bratanipun, namung saking dajaning kamurkan ingkang babar pisan dereng uwal saking kuwandhanipun, ateges taksih kelet kumanthil, wusana saged mahanani wewudjudan ingkang anggegirisi kala wau.

Inggih mekaten punika tumindaking sebagian ageng para djanma manungsa, ingkang namung tansah ngumbar hardaning kanepson, pepenginan, angkara murka, gampil kapikut ing gebijaring djagad gumelar, ingkang mboten aseli, mboten sedjati, ingkang ateges sedaja kala wau palsu. Pramila Djaka Lawung saja kentjeng anggenipun badhe nindakaken pamesu bratanipun, mboten badhe kundur jen dereng angsal wangsiting Hijang Sasangka Djati. Katjarios sesampunipun Djaka Lawung radi dangu anggenipun mesu raga wonten ing putjuking redi Ardjuna, ing satunggaling wekdal, ing tengah dalu, nalika Djaka Lawung nembe nindakaken pakarjaning pasemeden, wusana mboten kanthi kanjana-njana lan mboten kagraita, wonten satunggaling peksi emprit mentjok ing bau kiwaning Djaka Lawung. Ing salebeting anggalih Djaka Lawung ngungun ketjampuran kaget, kok wonten kedadosan ingkang nganeh-anehi. Ingatasing peksi emprit ing wantji tengah dalu, kok mentjok ing pundhak kiwanipun. Punika genah sanes sabaenipun peksi, mesthi badhe wonten kedadosan-kedadosan ingkang elok. Ing salebeting tijas Djaka Lawung anggraita: “Iki kok ndadak ana kedadean aneh maneh, ingatase manuk emprit ing wajah bengi kathik tengah wengi sisan, wani mentjok ing bau kiwaku, iki genah ana apa-apa kaja dene pengalaman kang uwis-uwis”. Wusana pepuntening batos ladjeng kepengin ndangu dhateng pun emprit kala wau. Dhawuhipun mekaten: “E, emprit iki kok elek banget, ingatase kowe mung asipat manuk, kok wani mentjok ing bauku kang kiwa, kang sedjatine aku iki lagi nengah-nengahi pakarjaning pasemeden. Apa kowe ja bisa tata djanma, mara terangna kang tjetha”.

Peksi emprit: “E, kowe lali ngger karo aku, nanging ja wus sakmesthine, lha wong njatane aku saiki saling wewudjudan. Mangertia ngger, sedjatine aku iki rak ja wong ngatuwamu dhewe ta. Elinga dhek djaman kala samana, nalikane ibumu keplaju-plaju nganti tekan ing sakngisoring gunung Lawu kang kapara rada sisih lor, ing kono ibumu rak mampir ana ing sawidjining omahing mbok randha, kang aran mbok Saraagi ta. Dene djalarane ibumu nganti keplaju kuwi mung merga saka pokale si Darmawangsa. Mula ngger, kowe ngugua karo omongku, sedjatine kowe rak wus tak jasakake kedhaton kang gedhe banget ana ing tengah-tengahe Bengawan Brantas, ja kuwi nalikane kowe ngaso bijen kae. Aku mung andjaga murih kepenakmu ing tembe mburi, mula tak djaluk kanthi banget kowe inggala andjegur ing bengawan Brantas kana, mengko ndak papag. Perlune kowe bisa djumeneng Nata Binathara kang ing pungkasane bakal bisa andhepani djagad, dadi ratu kadjen keringan”.

Djaka Lawung: “Mengko ta dhisik, kuwi nalare keprije, ingatase kowe ki manuk, lha kok bisa tata djanma kathik ngaku wong tuwaku pisan, mara terangna kang tjetha”. Emprit: “We lha, rupane kowe isih durung mudheng wae marang kandhaku, aku rak wis omong ta, jen aku iki sedjatine rak ja ibumu dhewe kang wus swargi, ja saiki iki aku awudjud emprit kang dadi jitmane ibumu. Mulane adja kesuwen mengko mundhak selak ora karu-karuan kedadeane. Wis ja, mung welingku bae inggal tindakna, andjegura ing tengahing bengawan Brantas, aku wus sumadija ing kana. Aku tak budhal andhisiki”. Djaka Lawung: “Ija,, mengko inggal-inggal taklakonane.”.

Katjarios Prabu Brawidjaja I ingkang sampun swargi, sampun dumunung wonten ing Hasta Warana, papan ingkang wijar, omber lan bawera. Mboten kewran mirsani kawontenan ingkang mekaten kala wau. Djalaran priksa sedaja kawontenan ingkang sampun lan ingkang dereng kedadosan. Nering penggalih dereng saged negakaken dhateng ingkang putra. Pramila pandjenenganipun sanalika tumurun njelaki ingkang putra, kanthi paring sabda mekaten: “Ngger Djaka Lawung, teka kebangeten temen, durung sepira suwene ingsun paring dhawuh marang sira, poma di poma sing ngati-ati, djebul lagi kena omonge si emprit bae wis kelu, kepikut, tandha jekti jen sira durung mumpuni anggonira nindakake pamesu bratanira. Isih gampang ginodha dening sapa bae, kang ateges sira durung anduweni prajitna, ja kuwi durung nganggo wewaton PANTJA WEDHA. Mangertija ngger, jen sedjatine kang awudjud emprit iki mau dudu wong atuwamu, nanging kuwi jitmane si Djaja Katiwang. Elinga dhek nalikane sira isih djedjaka, dhemen ambebedhag, sira rak wus tau tate djemparing ajam wana kang wusana bisa kena, ing kono getihe si ajam wana nganti amber ambalabar, bisane sat marga sira dhewe kang nambak. Ing sakwise bandjur ana swara, ngaku jen sedjatine kuwi jitmane si Djaja Katiwang. Nganti sira ngojak-ojak tekan sakwetane bengawan Madijun. Mula ngger adja sira gampang utawa kelu marang gebjaring kahanan, kuwi mono mung wudjud pengitjuk-itjuk, supaja sira lena, ing wekasan badhar pamesunira. Wis ja ngger, sing ngati-ati, Rama bakal kundur.”

Sakontjating ramanipun saking panduluning pamesu bratanipun Djaka Lawung, ing wusana ladjeng gumregah wungu saking anggenipun mesu raga, ing salebeting tijas namung tansah angrumaosi, bilih tumindakipun taksih tansah dereng tumata, dereng titis, tandha jekti taksih gampil ginodha ing kawontenan sanes, ingkang sedajanipun namung badhe andjelemprengaken kemawon. Ingkang mekaten wau ing salebeting penggalih sanget matur nuwun dhateng ingkang rama dene kok tansah kadjangkung, kapirsanan, anggenipun tansah tumindak kirang leres wau. Ugi ngrumaosi bilih anggenipun talak brata dereng sampurna, lan kedah saja dipun prajitnani, sageda anggenipun mesu brata inggal katarimah ing Djawata, sarta sedaja kalepatanipun inggala saged kalebur sadaja. Ing wusana nering tjipta menawi sedaja sampun sami resik, wusana badhe djumeneng Nalendra Pandhita ingkang sidik ing kawruhing budhi.

Sesampunipun Djaka Lawung saja mantep, madhep anggenipun sumedija nindakaken pamesubratanipun, awit rumaos saja padhang, saja terwatja, saja gamblang lampahing kawontenan ing Djagad gumelar punika. Nering sedija mboten badhe keguh utawi kelu sarta kepintjut dhateng gebijaring kawontenan, sarta mboten balereng mirsani soroting Hijang Bagaskara, namung tansah kondjem ing bantala, sumungkem wonten ngersaning Hijang Bagas Puruwa, nindakaken sedaja dhawuhing rama ibu ingkang njata-njata tumudju dhateng kaluhuran djati. Wekasan sanget andadosaken kedjoting penggalih, dene sareng mirsani angganipun, pulih duk ing nguni, kados nalikanipun dereng wudjud denawa, inggih punika wudjud Djaka Lawung ingkang bagus ing rupi. Ewahing rerupen kala wau mertandhani, bilih dajaning angkara murka ingkang tumumplek ing angganipun Djaka Lawung sampun sirna sedajanipun, ingkang wonten namung sutji, resik, padhang suminar, amargi sedija ingkang sampun kawetja wau. Inggih mekaten punika wohing lampah ingkang tumudju dhateng kaluhuran djati, mboten maelu dhateng kelahiran. Wudjuding satrija anggambaraken sipating kautaman, dene wudjuding denawa anggambaraken sipating Angkara Murka.

Mangkana ta wau, bawane Nalendra kang sampun gentur tapane, mahanani tjahja gumebjar ing saknginggiling redi Ardjuna, lir soroting Hijang Tjandra ingkang badhe midjil saking lengkehing bawana. Sumilak sumamburat ngebaki dirgantara. Kathah ingkang samia arerepen, kathah ingkang samia amemuhun, mratjihnani wonten ndaru ingkang lumengser saking gedhong kaendran, andhawahi redi Ardjuna. Gotheking ngakathah sami suka-suka pari suka, bilih badhe wonten Pandhita Nalendra, ingkang badhe adamel kuntjarining negari miwah kawula. Tjahja saja dangu saja katingal sirna, wekasan sirna babar pisan. Sinten ta ingkang nampi pulunging pandhita ? Sak sirnaning tjahja, ingkang lagija teteki ing putjuking arga Ardjuna, inggih Prabu Brawidjaja kaping II ugi peparab Djaka Lawung, karawuhan satunggaling begawan ingkang sampun ketingal sepuh, ketingal mesem gumudjeng, sedaja polahipun tansah adamel renaning sanes. Glomah-glameh pangandikanipun, nanging mranani, mertandhani begawan ingkang pantjen sampun kawisudha bontos ing kawruh budhi menggah ngelmu dalasan lakunipun. Ing wusana begawan sepuh ladjeng ngendika : “Ngger Djaka Lawung, ingsun rawuh ngger, mara prajogakna lenggahira, adja sira kleru ing panampa lan uga sira adja kagungan raos adjrih, ingsun mene ja Ejangira dhewe djare. Kira-kira sira lali marang ingsun, awit ja mangkene kuwi kahanan ing donja, bisane mung tansah gawe lali, nanging arang-arang bisa gawe eling. Mula rawuhingsun iki kepengin gawe eling marang sira. Mangertia ngger jen ingsun iki sedjatine ja Hijang Bagas Puruwa kang bakal paring wangsit marang djeneng sira, kang lagija teteki sak perlu njuwun ngapura sekabehing kaluputanira. Miturut tata lahir kaja-kaja ora tinemu ing akal jen ta ingsun ing wektu dina samengko bisa wawan sabda kelawan djeneng sira.

Mangertia ngger, kedjaba ingsun iki ja Hijang Bagas Puruwa, nanging ja emuta, nalikane sira isih ana ing sakdjeroning kandhungane ibunira, ingsun ja wus ana ing kono ngger, adjedjuluk Begawan Manik Sidhi, mula ingsun iki ja kena diarani Begawan Manik Sidhi.

Elinga nalika isih djumeneng ana ing sadjeroning kandhungan, sira wikan, waskitha, witjaksana, djalaran durung ketaman ing kahanan kelahiran, ja kahanan kang tansah gawe lalinira wau. Sira wis bisa mangerteni marang sekabehing kahanan kang sira lakoni ing mbesuke, lan sira ja wus mangerteni asal mulanira kabeh, nanging bareng sira wus mijos saka guwa garbane ibunira, bandjur salin slaga, awit anggonira mojos mau metu sawidjining marga kang ala dinulu, ja kuwi kang aran Marga Sara Ina. Bareng sira wus wiwit lelumban ing madijaning djagad gumelar, apa maneh marang asalira, marang marganira kang lagi diliwati bae wis kesupen kabeh. Mula ngger, poma dipoma tansah elinga marang mula bukanira, marganira lan sakpanunggale, kanggo gegondhelan aja sira kongsi gampang ketaman bebendune ejangira dhewe, ja kuwi ingsun iki, djalaran babar pisan sira nglalekake, dadi kang tjetha sakiki ja ngger, jen ingsun iki sedjatine ja djeneng sira pribadi nalikane sira isih lenggah ing madijaning kesutjen, ja alam purwaka. Tjethane jen ingsun iki ja sira, ateges ingsun sumimpen ana ing sira, ateges ingsun sumingid ana ing sira, ateges ingsun njamadi marang sira, ateges ingsun nguripi marang sira, ateges ingsun kang agawe kekuatan marang sira, lan ateges pribadiningsun, ja pribadinira.

Mula saka kuwi ngger, elinga sira marang ingsun, uga ingsun tansah makarti tumrap sira. Jen sira lali, ateges datan maelu marang ingsun, ingsun mesthi bae ora saged tumindak, djalaran katutup dening pakartining kuwadhaganira. Dene kuwadhaganira dipandhegani si Lokaprana, ja kuwi kang tansah ngaling-ngalingi sira, jen ta sira kepengin emut marang ingsun. Kang mangkono mau jen sira wus widjang-widjang panampanira, kaja samubarang lir wus ora bakal tumpang suh ja senadijan ngenani djagad gumelar apadene ngenani bawana setranira dhewe, kanggo saiki ja kanggo ing mbesuke, jen sira wus tumeka ing djandji bisaa bali, kaja dene Tapaking Garuda Jeksa kang sinamber gelap, sirna sakpandurat lir katijup ing maruta sakethi.. Semene dhisik ngger, poma tansah EMUT.”

Djaka Lawung: “Kandjeng Ejang Begawan, sareng ingkang wajah nampi wedjangan sawatawis saking pandjenenganipun Ejang, kados siniram toja gesang raosing manah, kenging kawastanan, kalis saking sedaja rubeda. Pramila namung sagung pangaksami ingkang tansah kula suwun, kersaa Ejang paring sih kawelasan dhateng djasat kula, ingkang namung tansah katutup ing warananing gumelar, nilar dhawuhing rama ibu. Punapa dene sareng Ejang andhawuhaken, bilih inggih Ejang punika djasat kula, nalika kula taksih wonten ing guwa garbaning ibu, nindakaken tapa, kenging kawastanan mboten tumama ing bentjana, mboten ketaman gebijaring kelahiran ing wusana sareng kula midjil saking wewengkoning ibu ing wekasan kula tumindak mboten sakmesthinipun, ingkang ateges namung tansah ngumbar ubaling pantjadrija, kesupen dhateng duk asal kula, lan dhateng pundi purug kula ing bendjingipun.”

Begawan Manik Sidhi: “Wis ora maido ngger, apa maneh sira kang pantjen durung titi wantji ngawruhi sedjatining kahanan, ja kahanan ing nalika semana apa dene kahanan ing mbesuke, selagine para djanma kang ngrumangsani wus bontos mungguh ing kawruh sangkan paraning dumadi bae isih akeh kang padha nglenggana, amarga pantjen durung pinareng lan antuk wangsiting Hijang Sasangka Djati. Maknane ja saka pepadange dhewe kang ateges pribadi, ja kang den arani gurunira sedjati. Ja amarga saka kahanan kang mangkono mau ingsun kepara wani rawuh andhisiki ana ngersanira, djer kabeh mau wus katata, katiti lan ora ana barang kang luput saka sedijane, sakuger kabeh ditindakake kanthi temen-temen lan djudjur. Mula saka kuwi ngger, pamundhutingsun, adja sira gampang mitajani marang rembuge sapa bae, kang nyata-nyata durung bisa minangkani, apa ta sedjatine kang diarani Guru Sedjati kuwi.

Mangka ing wektu dina saiki, kaja sira wus bisa wawan sabda karo Guru Sedjati, ora lija ja ingsun pribadi iki, ateges ja pribadinira dhewe. Kanggo kagambarake dhek nalikane sira isih djumeneng ing sadjeroning guwa garbaning ibunira.” Djaka Lawung: “Saja padhang raosing manah kula Ejang sareng tampi dhawuh punika wau. Kepareng ingkang wajah ladjeng njuwun priksa kados pundi ing saknjataning gumelar punika, lan kados pundi tumrap ing wekdal sakpunika, punapa inggih namung kedah mekaten kemawon, ingatasing kula punika anggadhahi kuwadjiban mengku negari dalasan sak-isinipun, ingkang ing wekdal sapunika kula pasrahaken dhateng dimas Minak Pijungan. Awit saksirnaning rama ibu ingkang sampun swargi, paring piweling, menawi bendjingipun negari Madjapait punika badhe angalami kawontenan ingkang sakelangkung awrat sanggenipun, ingkang wosipun supados kula waspada sedaja tindak tanduk kula.” Begawan Manik Sidhi: “Ngger, bener banget pitakenira iku. Mula ngger sedjatine dhek nalikane sira isih djumeneng ana ing guwa garbaning ibunira, kabeh mau wus kawetja, tandha jektine ingsun ing wektu dina iki bisa anggelar sakabehing kahananira dhek samana, wong sedjatine sira ing kala samana ja ingsun iki, dadi kabeh iki wus katata lan katiti, marga saka kawitjaksanira ing dhek djaman kala sama, ja ateges kawitjaksananingsun ing sak-iki iki. Bab pangembataning pradja sedjatine ora kepareng sira aturake tumrap marang ingsun, djalaran tundone bandjur tumudju marang gebijaring kelahiran. Ewa semono jen pantjen temen-temen kabeh iku mau ora mung kanggo keperluanira dhewe, kaja dhek nalikane sira isih ngasta pusaraning pradja, Ejang ija mrajogakake. Mangertia ngger, anggenira nindakake tapa brata seprana-seprene kae kudu katudjokake marang kabeh para kawula, utawa ing besuk jen wus tumeka redjaning djaman. Mula saka kuwi ngger piwelingingsun, sakpungkuringsun iki mengko, sira kepareng nilar putjuking gunung Ardjuna kene, lan andjudjuga ing sadjeroning dhatulaja Madjapait, nemonana adinira si Minak Pijungan. Sira wadjib mendha-mendha kaja wong miskin kang panggaweane mung andjedjaluk. Ing wusana kanggo mangerteni lan andjadjagi sepira saktemene penggalihe adinira lan keprije pangrengkuhe. Jen pantjen adinira apik tengkepe lan pangrengkuhe marang sira lan mangerteni sedjatine sira kuwi sapa, wusana bandjur mundhuta pamit, dene bab ruwet rentenging negara tetep pasrahna marang adinira. Nanging jen pangrengkuh kuwi mau nganggo tjara kang deksura, dakwenang utawa munasika, kersaa sira bandjur gawe ontran-ontran. Mundhuta siti sak-gegem, bandjur sabdanen dadi kentjana. Ing kono sira bandjur njenjuwun marang Hijang Bagas Puruwa, supaja pengagem tjara Nelendra, kaja nalikane sira djumeneng bijen. Jen Minak Pijungan wus ngrumangsani kaluputane, negara apa dene isen-isene kabeh pasrahna, nanging mawa perdjandjen, adja kongsi negara kapasrahake marang putrane Minak Pijungan, awit putrane Minak Pijungan ora anduweni wenang mangku negara Madjapait, dene kang wenang ja putranira dhewe. Bab srah-srahaning pradja ngenteni jen putranira wus midjil saka garwanira padmi.” Djaka Lawung: “Nalaripun kados pundi Ejang, djalaran ngantos wekdal sapunika ingkang wajah dereng anggadhahi garwa utami padmi.”

Begawan Manik Sidhi: “Ngene ngger, jen sira wus masrahake negara marang adinira, sira kudu djengkar saka kedhaton, lakunira ngidul terus mangulan bener. Jen sira wus tumeka ing sakwetane gunung Lawu, ing kono sira bakal mirsani ana sela gedhe nanging rata, lan ing kono ana tjarakan Djawa, tinggalane Ejangira dhewe kang aran Begawan utawa Empu Galihan. Ja marga anggonira bisa matja tjaraka mau, ateges sira wus mangerteni marang asal mulanira apa dene marang paranira. Sakwise sira bandjur djumeneng ana ing sak tjedhaking sela kono, dadi Pandhita Nalendra adjedjuluk Begawan Dwiasmara. Tetekia kongsi djangkep sapta warsa lan adja sira kundur jen durung pepanggihan karo Pandhita Wanodija kang asma Resi Trembini. Ja Resi Trembini kuwi kang bakal dadi garwanira. Dene asma kang saktemene ja kuwi Dewi Lawung Wati Sri Wardani. Ja ing kono sira bakal kagungan putra kakung gumanti keprabon Madjapait, kang aran Raden Prijangga Lawung. Dene Dewi Lawungwati Sri Wardani kuwi putri saka negara Djenggala kang kebhedhah dening Djaja Katiwang dhek djaman kala samana. Nanging mangertija jen Dewi Lawungwati Sriwardani kuwi juswane kira-kira ja wus sepuh, nanging ja ing kono si Prijangga Lawung bakal mretapa, tjalon djumeneng nata Madjapait Prabu Hajam Wuruk, ja Prabu Brawidjaja Kalamurti Tjakrabuwana kang kaping IV.”

Djaka Lawung: “Sesampunipun mekaten ladjeng kados pundi Ejang, punapa ingkang wajah tetep wonten pertapan ?” Begawan Manik Sidhi: “We lha ora ngger, sira lan garwanira kudu wani tumindak kaja dene kawula tjilik, idhep-idhep mirsani keprije sedjatine kahanan negara kuwi, sira kudu laku tetanen, ngupakara tanem tuwuh, utawa kasile bandjur diedol menjang negara. Anggone ngedol ana ing sadjerone pasar, ja garwanira sing nggendhong, lha sira dewe sing njunggi, sarta ana ing dalemira kudu tlaten ngopeni sato iwen, upamane pitik, bebek, menthog lan lija-lijane. Dadi tjekak tjukupe kudu bisa urip kaja dene wong tani kae. Ing kono babar pisan sira ora kepareng ngatonanke jen sira mono sedjatine Nalendra. Jen ing wajah bengi sing wadjib mulang-muruk bab tjarakan Djawa marang sapa bae, utawa kabeh ija uga bab kawruh sangkan paraning dumadi. Djer mengko kena kanggo pantjadan sira djumeneng nalendra kang witjaksana ambek adil paramarta, asih ing sesamaning dumadi. Bisa angrasakake keprije dadi kawula kuwi, dadi ora mung waton paring dhawuh thok bae.”

Saka panuwune Ejang, sira adhedhukuh ing pedhukuhan kang diarani Madjalangu, kang ora adoh saka Talok Langu, ja kuwi ngger sedjatine kang aran Negara Madjapait, asal saka padhukuhan kang sira dunungi mau. Dene madja ateges manunggaling djagad, pait tegese paekaning tumitah kang tjidra. Dadi ing mbesuke Negaranira bakal rusak marga saka pokale turunira dhewe, nanging ing titi mangsa kala bakal mudjudake Negara kang bisa agawe manunggaling djagad, kaloka kadjana prija, kondhang ing Bawana mantja. Ja ing kono negaranira bakal dadi negara gedhe kang katelu lan anduweni tjahja kang sumorot madhanigi ngawijat.

Ing sakwise mamgkono sira kudu wani nandur empon-empon tolaking wong sak Negara, dene papan kang betjik ing tlatah wetan, ja kuwi ing sakwetane Semeru. Ing kana sira bakal kagungan garwa ampejan asma Dewi Wiraksini Prabawulan. Wus samene bae ngger piwelingingsun, lan inggal ajatana adja kongsi katalompen, lan sakpungkuringsun terus tindaka mlebu marang dhatulaja.”

Djaka Lawung: “Sanget kapundhi dhawuh pengandikanipun Ejang lan ingkang wajah namung tansah njuwun tambahing pangestu, pinaringan kijat lan emut, sarta mboten badhe tumpang suh anggen kula nindakaken”. Sakpandurat Begawan Manik Sidhi sampun mboten katingal ing pandulu, mlebet ing madijaning Guwalajanipun Djaka Lawung. Saja adamel teguh sedijaning Djaka Lawung anggenipun badhe nindhakaken pakarjan utami kalawau.

Wekasan Djaka Lawung ugi mandhap saking petapan redi Ardjuna, terus ngener dhateng kedhaton negari Madjapait, Kanthi mengagem ingkang sarwa rompang-ramping, tumindak kados dene tijang ngemis, terus mandjing ing salebeting dhatulaja. Kaleresan Sang Nalendra inggih Minak Pijungan pinudju lenggah ingadhep andher para abdi dalem seba tjaos, ngendikan bab anggenipun ngasta pusaraning pradja. Ketingal rena ing penggalih, katandha anggenipun ngendika kinanthenan gudjeng ingkang renjah, adamel renaning para ingkang sami seba tjaos.

Dereng dangu anggenipun sami imbal watjana, katungka sowanipun abdi dalem djagi, ngaturi uninga bilih ing srambining dhatulaja wonten satunggaling tijang ngemis ingkang kepengin mundjuk atur ing ngersaning nata. Sang Nalendra marengaken supados tijang ngemis wau sowan ing ngarsa nata. Sareng sampun katingal sowan, sanget andadosaken dukaning ingkang Sinuhun, teka wudjudipun tijang ngemis kemawon udjug-udjug wantun lenggah ing kursi andjadjari ingkang Sinuhun. Sang Nata ladjeng utusan abdidalem supados tijang ngemis kalarak medal pinaringan pidana sakmurwatipun. Nanging sareng tijang ngemis badhe kalarak ladjeng njirnani, ing wusana adamel ontran-ontan, mundhut siti sakgegem, pinudja dados kentjana. Wusana Sang Prabu kepareng nimbali tijang ngemis wau, sanget kedjotipun malih, bilih sirna wudjuding tijang ngemis, nanging gantos wudjud ingkang raka, inggih Sang Prabu Brawidjaja kaping II, ngagem busana kanalendran.

Dhawuhipun Sang Prabu (Brawidjaja II): “Jaji Prabu, durung sapira lawase sira ngasta pusaraning pradja djumeneng nata wus tumindak sija marang sakpadha-padhaning tumitah. Ja kebeneran iku kang mandjilma djenengingsun pribadi, upamane wong ngemis temenan, kira-kira ja sira patrapi paukuman, senadijan wong ngemis iku tanpa dosa lan perkara, mung marga saka wani lungguh kursi djadjar sira. Kang mengkono mau jaji, andadekna ing pangeling-elingira ing salawas-lawase”.

Minak Pijungan: “Dhuh kakangmas, pantjen ingkang raji kirang waspada, mertandhani bilih ingkang raji dereng saged djumeneng nata gung binathara, ingkang mekaten kala wau prajoginipun sedaja panguwaosing ratu kula kunduraken ing ngersa paduka kakangmas. Dene sedaja kalepatanipun ingkang raji,kersaa paring gunging pangaksami”. Sang Prabu: “Wus ora dadi ngapa jaji, jen tumindakingsun iku sedjatine kanggo andjadjagi penggalihira, wus kuwat apa durung djumeneng Nalendra, nanging sepisan iki ora dadi baja pengapaa, muga-muga ing sateruse adja kongsi sira ambaleni maneh tumindak kang keleru mau. Dene bab pradja tetap ingsun pasrahake marang sira. Nanging poma dipoma, adja kongsi dipasrahake sapa bae jen ingsun durung kundur, djalaran mangertia jaji, jen kang andarbeni wenang nglengser keprabon ing mbesuke dudu saka turasira, nanging midjil saka turasingsun”.

Minak Pijungan: “Nuwun dhawuh sendika kakangmas. Sedaja badhe kula estokaken, ladjeng kakangmas badhe ngersakaken djengkar negari malih punika nalaripun kados pundi, sarta tindakipun dhateng pundi utawi pinten warsa dangunipun ?”. Sang Prabu: “Bab djengkaringsun sira ora perlu mangerteni, kabeh mau dadi reregemaningsun. Wus jaji, karia slamet basuki tumeka ing besuke”. Sang Prabu Brawidjaja kaping II inggih Djaka Lawung kanthi mengagem tjara limrah terus ontjat saking dhatulaja, tindakipun ngener redi Lawu ingkang sisih wetan. mboten Katjarios tindakipun ing samadijaning marga Djaka Lawung andhedherek dhawuhipun Begawan Manik Sidhi, terus andjedjak ing papan ingkang sampun kapratelakaken dening Begawan Manik Sidhi kasebat, inggih punika njata wonten ing lelengkehing redi Lawu ingkang sisih wetan, katingal sela ageng wradin. Inggal-inggal Djaka Lawung minggah dhateng sela kala wau, sareng sampun dumugi ing nginggil, pranjata wonten seratanipun Djawa Kina, inggih punika ingkang sinebat Tjarakan Djawa.

Djaka Lawung sakelangkung ngunguning penggalih mirsani tjarakan Djawa kala wau kalijan ngumandika, iki bandjur keprije tjarane aku bisa matja. mboten dangu Begawan Manik Sidhi sampun katingal rawuh ing ngersaning sinatrija, ladjeng paring pitedah bab pemaosing tjarakan Djawa wau, dhawuhira: “Ngger Djaka Lawung, tumungkula ngger, lan rungokna dhawuhingsun tumrap pematjaning tjarakan iki:

“Hingsun Nitahake Tjahja Rasa Karsa”

“Dumadi Titising Sarira Wandija Laksana”

“Pantya Dhawuhing Djagad Jekti Ngawidji”

“Marmane Gantya Binuka Thukul ing Ngakasa”

Kuwi ngono anggambarake kahanan ingsun apadene sira dhek djaman kala samana, sakdurunge mawudjud kaja ngene ini. Mungguh keterangane mangkene: Hingsun kuwi katjekak Ha, tegese ana, wudjud, wiwitan, ja kuwi kang den sebut Hijang Bagas Puruwa, lenggahe ana ing alam Puruwa, ya alam Wasana, kena diarani Sirna nanging Neka, utawa datan kena kinaja ngapa.

Nitahake, jen katjekak Na tegese, ndhawuhake, njabda, nganakake, andjumenengake, mudjudake. Dadi Hijang Bagas Puruwa wus andhawuhake. Tjahja, jen katjekak Tja tegese, Sorot, pepadhang, sunar kang tanpa wewajangan. Ja kuwi tjahjaning Hijang Bagas Puruwa pribadi. Rasa, jen katjekak Ra tegese, ja rasane Hijang Bagas Puruwa pribadi kang wus kadhawuhake utawa katitahake.

Karsa, jen katjekak Ka tegese karep, ja karepe (karsane) Hijang Bagas Puruwa dhewe (pribadi).

Dadi: HA, NA, TJA, RA, KA, tegese, Hijang Bagas Puruwa wus aparing dhawuh marang tjahja, rasa lan karsane pribadi, kang supaja tumitis utawa tumurun, tegese turun saka pribadine Hijang Bagas Puruwa dhewe. Dene Hijang Bagas Puruwa kuwi kena diarani Sang Hijang Huna, tegese Swara, Pangandika kang tanpa lesan. Dene lesan ing kene ateges piranti. Bandjur sakteruse :

Dumadi, jen katjekak Da,tegese wis dadi, mawudjud, gatra wis ana, nanging wudjud utawa gatra kang isih samar. Tegese ora bisa dipirsani nganggo pirantining pantjadrija.

Titising, jen ditjekak Ta, tegese tetesing sabda, dhawuh, pangadika mau. Sarira, jen ditjekak Sa, tegese Sarining Rasa, ja rasane Hijang Bagas Puruwa kasebut. Wandija, jen katjekak Wa, tegesa wahana kang winadi, utawa wola-wali (ora mung sepisan), dadi wahana kang winadi kuwi sedjatine ja kang diarani ora mung sepisan kuwi.

Laksana, jen katjekak La, tegese tumindak utawa ditindakake, lumaris, lumaku, makarti. Ja marga pakarti, tumindak lan laku mau, bandjur bisa mawudjud wela-wela. Dadi: DA, TA, SA, WA, LA, tegese Ana Tetesing Rasa Kang Wola-Wali Pakartine, tjetha jen kabeh kuwi ora mung sepisan gawe, kang ateges marambah-rambah nganti kena diarani datan ana pedhote, utawa langgeng, tetep, adjeg, kaja dene getere djedjantungira.

Pantya, jen katjekak Pa, tegese papan, wadhah, panggonan, bolongan, guwa, utawi sipat. Dhawuhing, jen katjekak Dha, tegese perintahe, pakone, kongkonane, utusane. Djagad, jen katjekak Dja, tegese djagad, bumi, bawana, kelaswara, tijambita, wewengkon, ringkese diarani panguwasa. Jekti, jen katjekak Ja, tegese sajekti, sedjati, temenan, ora goroh, sampurna, pepak, djangkep ora kurang.> Ngawidji, jen katjekak Nga, tegese manunggal, kumpul, ora pisah, samad sinamadan, limput linimputan.

Dadi: PA, DHA, DJA, JA, NJA, anduweni teges: Wadhah Kanggo Papane Dhawuh Kang Wus Manunggal Kalawan Bumi, tegese wadhah lan isine ora bisa pisah, utawa sing andhawuhi lan sing diparingi dhawuh wus njawidji (manunggal). Marmane, jen katjekak Ma, tegese mulane, sanjatane, akibate, kedadeane. Gantya, jen katjekak Ga, tegese ganti, berobah, ewah sipate, owah wewudjudane, owah kahanane.

Binuka, jen katjekak Ba, tegese kabukak, menga, diweruhi, kaweruhan, katon, mangerti, karasa, kasat ing mata. Thukul ing, jen katjekak Tha, tegese wutuh, semi, modot, berobah saka asale, pindhah saka papane. Ngakasa, jen katjekak Nga, tegese ngawijat, dirgantara, awang-awang, ndhuwur, ngantariksa.

Dadi: MA, GA, BA, THA, NGA anduweni teges: Mulane Bandjur Owah Wewudjudane lan Bandjur Thukul Ing Awang-awang, tegese ana nanging durung kasat mata, ja pirantine si pantjadrija.

Semene ngger, luhuring tilarane ejangira dhewe ja Empu Galihan, anggone paring tetilaran marang putra wajahe, kedjaba bakal kena kanggo sesambungane pangandikan tumrap sidji lan sidjine, djebul ngemu surasa nalika sira isih ana ing djaman ketentreman, ja djaman kang wiwitan. Kawruh iku mau sedjatine durung tutug, djalaran kedjaba ana aksara Djawa, uga ana sandhangan, tegese sakwise sira bleger awudjud kaja saiki iki bisa njandhang, ngrasakake. Dadi sandhangan dudu panggango, nanging Rasane. Tjatjahe sandhangan iku mau ana 12 idji, dene aksarane ana 20, mulane aksara Djawa iku kabeh ana 32. Telu ateges asalira, rasaning bapa, rasaning bijung lan titising Hijang Djagad Pratingkah, dene loro kuwi tegese wadhah lan isine. Kawruh kang kaja mangkene iki sebarna marang kabeh para kawula, kareben padha mangerti marang asale dhewe-dhewe,kang ateges ora gampang ngumbar hardaning kamurkan. Kaja wus tjukup samene ngger piwelingingsun bab tilarane ejangira Empu Galihan, wus ngger karia basuki”.

Saknalika Begawan Manik Sidhi enja saking pandulu, dene Djaka Lawung saja mantep, madhep lan rumaos rena sanget panggalihipun, dene wonten kedadosan ingkang saged maringi pepadhang ngantos dumugi sakputra wajahipun sedaja bendjing ugi badhe sanget mangertosi, ingkang ateges mboten itjal larinipun.

Pamesubratanipun kaladjengaken terus ngantos pinten-pinten warsa. Ing ngriku Djaka Lawung djumeneng Pandhita Nalendra, adjedjuluk Pandhita Dwiasmara, ugi Pandhita Katong.

Mboten karontje kawontenanipun Sang Pandhita, anudju ing satunggaling dinten, Sang Pandhita lenggah ing srambining Sanggar Palanggatan, ingadhep sedaja para tjantrik, ingkang karembag inggih namun tambahing kawruh budhi, ingkang tumudju dhateng kaluhuran djati. Dereng dangu anggenipun sami asung pangandika, katungka aturipun tjantrik, bilih ing ndjawi wonten satunggaling wanodija ingkang kepengin sowan ing ngarsa resi. Sang Pandhita ugi ladjeng marengaken.

Sesampuning wanodija sowan, Sang Pandhita mundhut priksa: “Sampejan saking pundi mbakju, dene nami sampejan sinten, kok keraja-raja tekan padhepokan ngriki, napa baja wonten perlu.”

Wanodija: “Inggih Sang Pandhita, kula punika asal saking negari Djenggala, ladjeng kepladjeng nalika negari Djenggala binedhah dening Ratu Angkara, ingkang nama Prabu Djaja Katiwang. Sampun dangu anggen kula ngumbara kalunta-lunta, perlu ngangsu kawruh Kejaten, inggih kawruh kasunjatan. Ing wusana salebeting kula ngumbara tanpa prana, mireng rawat-rawat bakul sinambi wara, bilih ing ngriki wonten pandhita kang sidik, asma Pandhita Dwiasmara, punapa inggih pandjenengan Sang Pandhita ? Dene peparab Kula Resi Lawung Wati, nami kula pijambak Lawung Wati Sri Wardani, putra ratu ing Djenggala duk samanten.”

Sareng Sang Pandhita mireng aturipun wanodija kala wau, saknalika emut dhateng dhawuhing Begawan Manik Sidhi, menawi wanodija punika njata-njata tjalon garwanipun, pramila mboten saranta Sang Pandhita ladjeng aparing dhawuh kanthi trang terwatja: “Diadjeng, kaja wus tumeka ing titi wantji, jen sira bakal dadi tetimbanganingsun. Awit Hijang Bagas Puruwa wus paring uninga marang djeneng ingsun, jen sedjatine ja sira kuwi kang pantes ingsun garwa kinarja sarana margane ingsun adarbe turun tjalon gumanti keprabon ing negara Madjapait. Mula dhiadjeng, adja kongsi sira andarbeni pangira-ira kang ora bener, awit kabeh mau kaja wus kinarsakake mring Djawata, dadi jen pantjen sira kepengin njuwita ing padhepokan kene, kaja ja wus prajoga banget, malah sakwise iki sira bakal ingsun bojong tindak anjedhaki pradja, sakperlu mirsani kahananing negara, awit negara ing wektu dina samengko ingsun pasrahake marang adhiningsun si Minak Pijungan. Ing kana ingsun bakal andjudjug ing padhepokan Madjalangu lan ingsun wadjib agawe karang kitri, laku tetanen, sira mengkono uga dhiadjeng.”

Wanodija: “Dhuh sang Pandhita, sanget andadosaken ngradatosing manah kula sareng nampi dhawuh pandjenengan ingkang kados mekaten punika. mboten kanjana-njana menawi kula badhe kedhawahan pulung ingkang tanpa upami agengipun, bebasan lumpuh kang saged lumaris. Sang pandhita, menawi pantjen Sang Pandhita sudi dhateng djasat kula, badhe anggarwa dhateng kula, punapa mboten getun ing pawingkingipun, awit Sang Pandhita katingal taksih mudha, ing mangka kula sampun sepuh kados mekaten wudjudipun, Sang Pandhita. Punapa malih sareng kula mireng, bilih Sang Pandhita punika Nalendra ing Madjapait, punapa inggih pantes menawi kula angrenggani keputren, kinarja garwa prameswari.”

Sang Pandhita: “Wis ta dhiadjeng adja sira kakehan ing pangudasmara, djer kabeh kuwi wus kinarsakake ing Djawata, dadi ingsun apadene sira mung kari nindakake.” mboten katjarios Sang Pandhita kalijan Dewi Lawung Wati Sriwardani sampun sami sih-sinisihan, lir saklimrahing djanma, ing wusana sang Dewi sampun katingal anggarbini timur.

Ing salebeting anggarbini kala wau, Sang Dewi sanget anggenipun kagungan pepinginan dhahar ulam ajam sawung, ingkang ulesipun wiring kuning tjampur wido djengger lan sukunipun pethak memplak. Panuwunipun dhateng ingkang garwa mboten kenging kaampah, kumetjer ngiler. Sang Pandhita mboten kirang weweka, sedaja panjuwunipun ingkang garwa inggal kaupadi, wekasan pikantuk satunggiling sawung tjeples ingkang dados panjuwunipun ingkang garwa.

Sawung ladjeng kapragat, ulamipun kadhahar sedaja kanthi nikmating raos. Inggih sawung punika sedjatosipun ingkang badhe djumeneng wonten ing guwa garbaning Sang Dewi, ingkang ing tembe badhe mijos kakung tjalon gumantos Kepraboning negari Madjapait, adjedjuluk Raden Prijangga Lawung.

Sang Pandhita ingkang tansah emut dhateng dhawuhing Begawan Manik Sidhi, sesampuning ingkang garwa anggarbini sawatawis tjandra, ladjeng kabojong dhateng padhepokan ing Madja Langu ing satjelakipun Negari Talek Langu, ing sisih ler kilenipun. Wonten ing padhepokan ngriku, Sang Pandhita inggal mbangun teki, jasa dalem sakmurwatipun, nindakaken tetanen, nginguh sato iwen, ingkang wosipun sedaja wau sami tumut amiturut dhawuhing Begawan Manik Sidhi.

Mboten katjarios Sang Dewi sampun ambabaraken putra kakung, bagus ing warni, kimplah-kimplah pindha tojaning tlaga Arga Sonja. Djabang baji senadijan saweg juswa 2 warsa, namung sampun katingal pamering ngaluhur, pantjen inggih trahing kesuma dhasar tedhaking mara tapa.

Sang Bagus pinaringan asma Raden Prijangga Lawung. Kotjapa sareng Raden Prijangga Lawung sampun djangkep juswa 17 warsa, saja tjetha pamoripun, gumebijar mentjorong, mertandhani tjalon Nalendra Binathara. Remenipun namung tansah ulah kridaning dedamel, tetes, merak ati, ngabekti dhateng rama ibu, lembah manah, nanging kendel, datan adjrih dhateng punapa kemawon. Landheping panggraitanipun ngedab-edabi, persasat pirsa dhateng sedaja kawontenan, senadijan dereng winarah nanging dipun tresnani dhateng kantja-kantjanipun ing kiwa tengening padhepokan ngriku. Remen weweh dhateng sesami, asih lan andhap asor, ngertos dhateng susila, mboten ngluhur-ngluhuraken, tindakipun sami kemawon kalijan lare padhusunan, persasat mboten mantra-mantra menawi punika sedjatosipun putraning Nalendra.

Ing wantji senggang ingkang rama kepareng nimbali ingkang putra, dhawuhipun: “Ngger Prijangga Lawung, sira ingsun paringi pirsa ngger, nanging adja kaget atinira, lan bandjur adja kegedhen ing rumangsa. Mengkene ngger, sedjatine wong atuwanira iku ja ingsun iki dudu kawula tani kang mengkene iki. Ingsun sedjatine Nalendra Madjapait. Kala samana nalika rama isih djumeneng, akeh banget penggodhane. Mula rama bandjur kepengin gesang kaja dene kawula ing nganti seprene. Dene negara ingsun pasrahake marang pamanira dhewe, ja kuwi si Pangeran Anom Minak Pijungan lan sakiki djumeneng Nalendra adjedjuluk Prabu Brawidjaja Kalamurti Tjakra Buwana kang kaping III. Dene ingsun wus paring dhawuh marang pamanira, adja kongsi negara dipasrahake marang sapa bae, jen ingsun durung kundur ngedhaton. Ing wusana wektu dina samengko kaja wus tumeka titi wantji ingsun andjabel panguwasane Minak Pijungan, djalaran ingsun wus rumangsa kagungan putra kang wenang nglenggahi dhamparing keprabon, ja kuwi sira ngger. Jen ingsun waspadakake, kaja sira wus andungkap diwasa, kaja wus pantes jen ta ngrenggani negara Madjapait. Mangertia ngger, sedjatine ibunira iku putri saka Djenggala, dadi wus pantes jen djumeneng prameswarining Nata. Mula sira ja wus wenang banget nglintir keprabon. Mula saka kuwi ngger, poma dipoma tansah sumungkema ing ejangira kang wus swargi, kang bakal andjangkung pangastanira djumeneng Nata ing pradja Madjapait.”

Raden Prijangga Lawung: “Kandjeng Rama sesembahan kula, sanget ing pamundhi dhawuhipun rama, ingkang putra namung andhedherek sedaja dhawuh, mboten badhe ambadal kersa. Sedaja namung tansah sumarah ing ngarsa rama dalasan ibu, ingkang kula bekteni lahir trusing batos, inggih wakiling Hijang Bagas Puruwa.” Sang Pandhita lega sanget ing penggalihipun, dene ingkang putra tansah andherek dhawuning rama.

Sang Pandhita paring dhawuh malih: “Nanging mangertia ngger, jen djumenengira dadi nalendra kuwi kudu ngenteni jen sira wus juswa 25 warsa, dadi kurang 8 warsa. Ing sadjeroning 8 warsa mau, kang 7 warsa anggonen ngulandara, lelana kang sakperlu ngudi kawruh budhi kang sedjati, anggladhi marang katijasaning sariranira, kudu wani pait getir, makarja kang abot, nindakake talak brata, pirsa marang kasengsaraning kawula, pirsa marang kawula kang dhemen nindakake djubrija, tjidra, durdjana lan kudu wani nanggulangi. Adja sira kundur jen sira durung ngleksanani pamundhute rama. Awit sira wadjib sudjana marang kedadean ing tembe mburi, emut marang anak turunira, andjaga katentremane djagad sak isine kabeh. Jen kurang sakwarsa djandji sira wus bisa ngleksanani pamundhute rama, sira kepareng kundur. Ing kono sira ingsun sengkakake ngaluhur djumeneng Adipati Anom. Dene bab jasa kraton ora perlu bojong menjang Talok Langu, tjukup padhukuhan kene bae kanggo kraton. Katimbang ngusir si Minak Pijungan mesakake, aluwung ingsun kang ngalah. Wis ngger djengkara saka kene, ingsun tunggu ing padhepokan kongsi sakrawuhira ngger. Ora liwat rama mung bisa paring pudja-pudji pangestu, rahaju, widada ing saklawas-lawase.”

Raden Prijangga Lawung: “mboten langkung rama, ingkang putra namung njuwun tambahaing pangestu, tinebihna ing rubeda, tjinelakna ing karahajon. Sampun rama, sembah sungkem kundjuk ing ngersa rama miwah ibu.” Raden Prijangga Lawung nilar padhepokan sumedia nindakaken dhawuhing rama, dene Sang Pandhita miwah garwa sami nengga ingkang putra kanthi raos prihatos, sarta tansah njenjuwun ing Djawata, sageda ingkang putra tansah pinajungan karahajon.

About Love

Love, it's difficult to say but we did it some times. Even we didn't realize that we have done. it's all about to give something to others without pain inside. We never hope its will back to us sometimes.

When There is No Rules

when there is no rules, then we make it.

Sabtu, 18 Oktober 2008

Light

I came to the source of light

I am very impressed with

I do like it, even not so perfect

Hope someday have better think and place

I found my new dream

I found my new hope

I found my new future

I found my new life

Even I still don't know how it will last.....!

Jumat, 17 Oktober 2008

Rasa Ingin

Pertama kita tahu bahwa segala sesuatu ada yang membuat ada sang kreatornya. Pada tahap berikutnya kita ingin mengenal lebih jauh bagaimana sesuatu itu dibuat atau cara sang kreator membuatnya. Kita ingin lebih rinci/ detil mengetahui proses yang sebelumnya sehingga dengan begitu kita akan lebih mengenal. Seperti sebuah televisi ada yang membuat, sebagian orang tidak peduli bagaimana sebuah televisi terbuat. Sebagian lain sebatas mengetahui dimana dia dibuat, sebagian lain lebih mengenal lebih detail proses pembuatannya. Sebuah tv tidak lanngsung dibuat dengan magic box kemudian mendadak jadi tv. Diperlukan banyak proses, banyak mata rantai dan banyak sekali rangkaian yang diperlukan. TV merupakan perpaduan dari beberapa komponen yang tiap komponen berangkat dari proses dan bahan yang berbeda. Setiap komponen dibuat dengan perlakuan khusus berbeda dari yang lain sehingga tiap komponen mampu melakukan apa yang menjadi tugasnya. Tiap komponen mempunyai peran sendiri-sendirim, mereka tak sembarangan bisa dipertukarkan untuk bisa menghasilkan sebuah televisi. Ada bagian yang besar dan kecil, ada yang terlihat rumit ada yang sederhana. Dari semua komponen itu dirangkai sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah tv yang kualitasnya bagus. Mereka hanya mengerjakan apa yang dia perankan dan mereka tidak perlu iri dengan yang lain. Bekerja sesuai bakat dan tanggung jawab mereka sendiri tanpa mengeluh dengan yang lain. Ketika satu dari mereka mengalami kerusakan tidak akan menghasilkan tv yang bagus lagi.

Hate vs Love

There is no time to hate

When there is a little time to love

Memberi Perlu Latihan

Waktu kecil pernah berimajinasi, jika punya banyak uang misalnya kelak jadi orang kaya atau pejabat / presiden akan membantu kaum miskin atau membangun sarana umum biar bagus. Akan membeli ini dan itu juga akan memberi uang kepada si anu dan si anu sekian ribu rupiah. Setelah uang berada di tangan lupa dengan impian kita dulu, seperti yang kurasakan saat ini. Memberi perlu latihan dengan mengorbankan suatu hal yang kecil, misalnya sedikit mengalah atau bersabar dalam antrian. Dapat juga merelakan sebagian uangnya untuk dikasihkan kepada saudara lain. Memberi sesuatu di kala kita dalam kekurangan lebih baik dibandingkan memberi dikala kita dalam kelebihan. Karena disaat itu hati berperan dalam keikhlasan. Sekian lama perjalanan hidupku, memberi ternyata berat. Kita sering memberi mainan kepada orang karena kita sendiri sudah bosan, memberi makanan kepada tetangga karena sudah beberapa hari atau karena kita tidak bernafsu memakannya lagi.

Pelangi

Pelangi Pelangi

Alangkah Indahmu

Merah Kuning Hijau

Dilangit yang Biru

Pelukismu Agung

Siapa Gerangan

Pelangi Pelangi Ciptaan Tuhan

Sore tadi kulihat warna pelangi di langit, warna yang indah. Setelah sekian lama tidak pernah lihat, rasanya aneh juga bagiku. Sepulang dari Klaten menemui seseorang, kulihat pelangi di atas mengamati nya sungguh indah sekali. Beberapa hari lalu seorang teman memberitahuku bahwa aku dicari oleh mertuanya. Info dari seorang yang menjadi menantu tetanggaku. Aku juga heran, dalam hati bertanya kira-kira ada masalah apa ya..........! Waktu konfirmasi ternya dia ada kenalan yang membutuhkan seorang lulusan sarjana penempatan di Cikarang. Sampai sekarang aku masih ragu antara menerima dan menolak. Ada ketakutan dalam hatiku untuk meninggalkan keluarga, adik bapak dan simbok. Di sisi lain aku tidak bisa menolak tawaran seseorang karena tawaran tersebut menjanjikan. Aku juga mulai berimajinasi kira kira keadaan akan seperti apa jika benar. Karena rasa takut ini aku justru berharap tawaran itu tidak jadi. Aku juga heran kenapa momennya begitu!

Aku dikasih nomor hp, meski ragu aku hubungi juga setelah beberapa saat berlalu. Ini kulakukan karena ada perasaan aneh. Betapa tidak menelpon seseorang yang menurutku mendekati sempurna. Aku pernah mengaguminya karena kelebihan yang dimilikinya sewaktu kecil. Meski seiring waktu rasa kagumku padanya berangsur angsur berkurang. Namun bertemu dan ngobrol dengannya mungkkin rasanya seperti bertemu selebritis.

Memang saat ini lagi rumit, seorang kawan waktu SMA mengatakan padaku mengenal seorang wanita yang katanya adalah tetanggaku. Waktu konfirmasi ke aku ternyata adalah anak dari tetangga yang ku kagumi. Waktu itu kubilang anaknya sangat cantik dan menurutku cocok untuknya. Meski dalam hati aku juga menaruh harapan meskipun sedikit. Aku justru menyarankan kawanku untuk berusaha mendekatinya, juga memanasinya agar mereka bisa sampai ke pernikahan. Setelah beberapa waktu, sepertinya tidak sesuai harapanku dan juga kawanku. Orang tua setuju namun anaknya menunjukkan sikap tidak mau, aku dengar dia justru ngambek. Aku tak bisa bantu secara langsung, dalam hal ini diluar kemampuanku. Seperti biasanya aku tidak mahir dalam melobi.

Aku pernah menyukai nya sewaktu masih sekolah dasar bahkan sampai kuliah. Aku menyukainya karena anaknya cantik dan menurutku baik. Seiring waktu karena keadaan latar belakang keluarga membuatku mundur dan mengubur impianku dulu. Aku tidak memikirkan dia lagi, mungkin bukan jodohku dalam hati. Meski aku tidak bisa mengingat wajahnya dulu aku sangat ingin bertemu dan berbicara dengannya. Mencintai seseorang tapi tidak ingat wajahnya, ini terjadi padaku.....! Sampai sekarangpun aku tidak bisa membayangkan wajahnya, padahal baru beberapa saat berjumpa.

Jumat, 10 Oktober 2008

My Little Nephew

Welcome to this world my little nephew

Aulia Fajri Wiryanti

You just born in 10 October 2008 02:45 am

Be a great angle queen

Give your father and mother proud someday

To your grandparents and uncles

To all human society

We will always love you and wish you all the best

Rabu, 01 Oktober 2008

Nazhim Kemenakanku

Sore hari ku pulang dan sampai rumah aku lihat kemenakanku Nazhim sendirian kakakku yang lain, katanya baru saja tiba dirumah untuk merayakan hari lebaran. Aku berusaha membujuknya untuk ikut denganku ke warnet, tapi dia tidak mau. Tidak apa tidak mau, aku hanya ingin hubungan om dan kemenakan kami terasa dekat. Hingga terakhir dia bilang mau dibelikan bunga api, aku bilang ya tapi besok baru bisa dinyalakan karena aku nanti pulang tengah malam. Pasti dia sudah tidur pulas! Dia bilang tidak apa-apa, baik nanti kubelikan kataku. Meski dalam hati ragu juga gimana belinya nanti. Aku belum pernah beli kembang api sampai sebesar ini tapi aku yakin nanti gampang lah.
Ketika sampai warnet kulihat anak kecil yang sering menemaniku dan tadi malam juga bersamaku sampai jam 3 pagi. Dalam hati aku bertanya kenapa anak ini sering main di pasar seharian apalagi saat ini lagi liburan sekolah karena lebaran. Aku menganggap dia sebagai murid kecilku atau apalah, aku memang sering memberi tahu dia tentang ilmu komputer di warnet. Meski hanya tingkat yang sederhana, tapi menurutku sangat bermanfaat baginya. Maklum dia masih SMP dan pelajaran tentang ilmu komputer baru tahap pengenalan, beberapa tugas sekolah memang aku sedikit bantu dia.

Lebaran Melarikan Diri

Hari ini sungguh aku melakukan hal yang belum pernah lakukan. Semalan tidak tidur gara gara di warnet sampai pagi. Padahal diluar sana banyak sahabat kami kaum muslimin rame takbiran, mengagungkan asma Allah. Sementara aku menunggu seseorang yang melakukan maksiat. Meski aku tidak terlibat secara langsung, hal itu membuatku merasa bersalah dan kenapa aku tidak bisa menegurnya. Aku hanya bisa protes dalam hati, dan melakukan sedikit hal yang menurutku sebuah penolakanku atas sikapnya. Aku juga harus banyak belajar tentang kesabaran, suatu hal yang harus aku lakukan secara ekstra.
Esok pagi pulang aku menunggu beberapa saat dan tidak tidur karena aku takut terlambat ikut shalat ied. Dalam keluarga kami, biasanya aku paling lambat untuk urusan mandi di saat hari raya. Entahlah hari ini aku pertama kalinya aku mandi pertama duluanm biasanya adik paling duluan. Langsung aku berpakaian, dan berangkat ke lapangan dengan berjalan kaki, semenjak punya motor biasa berangkat sama bapak di belakang. Hari ini aku lain, aku juga sedikit memberikan pelajaran pada bapak, bahwa kadang kita harus berbeda dengan kebiasaan sesekali. Aku juga memberikan warna yang beda di lebaran ini, demikian juga dengan kakakku di Solo Pajang. Dia lebaran ini juga sengaja tidak mudik! Karena sibuknya pekerjaan adalah alasan yang sengaja dibikin meski hal tersebut benar. Aku juga sependapat dengannya saat ini dan aku berharap bisa juga menemaninya. Istrinya yang sedang hamil beberapa hari yang lalu telah mudik duluan, demi kebaikan apa yang dilakukan mungkin memang lebih baik
Aku juga menanyakan pada seorang kawan beberapa hari yang lalu bahwa disaat lebaran pendapatan mereka meningkat. Di saat orang lain menjajakan uangnya untuk konsumsi yang kadang glamour, beberapa teman yang kukenal harus bekerja ekstra dan imbalannya mendapatkan pendapatan lebih dari biasanya. Pendapatan datang lebih banyak, adalah harapan mereka, meski lelah tapi mereka toh terbiasa dengan keadaan itu. Ada suatu kerinduan bagi mereka menantikan saat lebaran tiba.
Aku berangkat ke lapangan sendirian kupikir nanti akan ada kawan dalam perjalanan, dan benar aku juga dapat kawan seperjalanan. Meski bukan teman yang kami harapkan tapi aku sangat berterima kasih karena menemaniku dalam perjalanan. Aku berjalan tidak sendirian, sampai di lapangan sepakbola Tugu. Dan bebrapa saat shalat Idul Fitri dimulai, dengan khotib yang aku tidak mengenalnya secara baik.
Dari Khotib yang mengisi ceramah, aku berpikir memang tiap orang mempunyai kelemahan dan kekurangan. Sang kothib baik dalam memimpin shalat, suara bagus namun tidak disaat berkhotbah, memang manusia tidak ada yang sempurna. Dari peristiwa itu aku berpikir bahwa ada saja kelebihan dan kekurangan dalam diri manusia. Saat itu suara sound system sepertinya juga mengalami sedikit gangguan. Aku mulai membandingkan dengan diriku, apalah aku ini jika dibandingkan beliau.
Sepulang shalat ied aku kebetulan juga bertemu teman SD yang lama tidak bertemu. Mereka merantau ke kota dan pulang kemarin, aku bersalam dan sedikit ngobrol santai. Dan peristiwa yang tidak akan kulupakan adalah lik Jarwo bersama anaknya berboncengan naik motor. Padahal beberapa tahun ini mereka berdua sedang konflik, biasa persoalan mis komunikasi antara bapak dan anak. Melihat peristiwa itu aku turut bahagia, harapan kami saat itu telah tercapai di hari yang fitri ini. Maklum dalam beberapa tahun ini mereka tidak rukun, seolah mereka meminta bantuan mereka dalam menyelesaikan kebuntuan dengan menceritakan kepada keluarga kami. Kami juga paham bahwa hal tersebut biasa terjadi dalam kehidupan keluarga. Jika tidak ada yang sedikit mengalah, permasalahan tidak akan terselesaikan. Mereka berdua saling menyudutkan satu diantara yang lain, padahal demi kebaikan bersama apa ynag telah mereka justru menimbulkan masalah baru. Pada saat-saat seperti itu yang aku lakukan adalah mengatakan bahwa masalah mereka adalah permasalahan kecil yang seharusnya mudah untuk diselesaikan. Jika ada diantara mereka sedikit mengurangi rasa egonya masing-masing.Masalah mereka sudah terselesaikan!
Sepulang shalat ied aku makan dulu kacang dan buah semangka menu wajib di hari raya, setalah itu langsung berangkat ke Solo. Aku bahkan tidak sempat menunggu sarapan pagi yang sebentar lagi sudah matang. Kata-kata simbok tidak hanya kudengar namun tidak kulaksanakan, sarapan dulu sebelum berangkat. Aku memberitahukan kepergianku memang mendadak sekali, aku sengaja untuk lebih meyakinkan diriku sendiri.
Karena aku sadar bahwa kita manusia akan sering berjumpa dengan keadaan tak terduga. Apa yang terjadi nanti/besok/lusa tidak akan sama dengan yang kita perkirakan sebelumnya. Aku membuat kondisi itu pada orang tua bahwa hidup penuh dengan hal semacam ini tak terduka. Demikian juga dengan kematian datangnya tak terduga bisa besok, lusa atau dilain hari, meski jelas namun kita tidak akan akan pernah tahu kapan datangnya.
Dan aku akhirnya sampai juga di Solo Pajang, karena aku sudah tidak tahan menahan rasa kantukku, setelah ngobrol beberapa menit sama kakakku langsung tidur. Andai saja aku tidak ngantuk mungkin akan main ke Yogyakarta, seperti rencanaku yang kususun beberapa hari sebelumya.

Selamat Idul Fitri 1429 H

Untuk Menjadi manusia,

Cantik saja tidak cukup

Tampan saja tidak cukup

Kaya saja tidak cukup

Pintar saja juga tidak cukup

Masih diperlukan hati yang lapang dan mudah untuk memaafkan.

Selamat Idul Fitri 1429 H

Minal aidin wal faizin.

Taqoballohu minna wa minkum.

Mohon maaf Lahir dan Batin

Warung Soto Ayam Mulud

Feel The Taste of Our Soto!
So Delicious

By Hari
Jalan Pasar Cawas - Pedan
Sentul Cawas