Dear God,
We Want to Be The Sun or The Moon more than The Star

Ya Tuhan, Jadikanlah kami seperti Matahari, seperti Bulan dan seperti Bintang-Bintang


Terima kasih atas kunjungan anda!




Rabu, 25 Desember 2013

MENCABUT KEBIASAAN BOROS

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab ra berkunjung kerumah putranya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada seonggok daging diatas sebuah wadah. Umar lalu bertanya, “Daging apa ini?” Putranya menjawab, Aku menyukainya.” Mendengar itu Umar langsung menukas, “Apakah enak memakan setiap yang engkau sukai? Cukuplah seseorang dikatakan bersikap boros bila ia memakan semua yang ia sukai” (Hayatush Shahabah, 2/287). Peryataan Umar kepada putranya memang sangat menyentil dan keras. Ia bisa dimaklumi, karena Al-Qur’an sendiri dengan tegas menyatakan bahwa kaum mubadzirin (pemborosan) adalah saudara-saudara syaithan. Dan syaithan itu kufur terhadap rabbnya(QS Al-Isra: 27).

Ada dua kriteria boros menurut DR. Sayyid Muhammad Nuh. Pertama, menggunakan suatu diluar kerangka taat kepada Allah. Artinya, apa saja yang disalurkan untuk kemaksiatan, jelas sia-sia. Bentuknya bisa harta benda, pikiran, tanaga, bahkan waktu. Waktu adalah anugerah termahal dalam hidup manusia. “Hidup manusia tak lebih dari gugusan waktu. Hilangnya sebagian waktu, berarti hilangnya bagian kehidupan,” kata Hasan Al-Bashri. Maka, penyia-nyian waktu identik dengan membung-buang kesempatan hidup. Padahal kehidupan adalah satu-satunya kesempatan manusia untuk memupuk modal kebahagian hakiki di akhirat. Kedua, menggunakan suata melewati batas kewajaran. Termasuk dalam hal ini makanan, minuman , pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya, yang digunakan secara berlebihan.
Semua hal yang awalnya mudah untuk dikonsumsi, bila digunakan kelewat batas, hukumannya bisa menjadi haram. Makanan, minuman, berpakaian, bukan saja mubah bahkan termasuk kategori kebutuhan primer (dharuriyat). Namun bila dilakukkan secara berlebihan, bisa-bisa yang mubah itu jatuh pada kategori haram. Imam Ghazali meriwayatkan, di kalangan salafusshalih ada yang terbiasa berdiri dihadapan meja makan setiap malam. Mereka berkata: “Wahai manusia yang ingin makan, jangan makan terlalu banyak, karena hal itu akan menyebabkan kalian banyak minum dan menjadikan kalian banyak tidur, dan akibatnya kalian akan banyak mengeluh ketika mati” (Ihya Ulumuddin, l/356).
Bahkan, beribadah yang kedudukannya wajib, bila dilakukan melebihi kapasitas manusiawi, adalah haram. Rasul saw bersabda, “Beramalah sebatas kesanggupanmu. Sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian yang merasa bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah yang dikerjakan terus-menerus sekalipun sedikit” (Muttafaq alaih). Dalam kesempatan lain, ketika sejumlah sahabat secara emosional bertekat meninggalkan kebutuhan manusiawinya untuk beribadah, Rasul bersabda, “Kaliankah yang mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang lebih takut daripada kamu, bahkan saya lebih bertakwa. Akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya sholat dan tidur, dan saya juga kawin. Barangsiapa yang mengabaikan sunnahku, maka ia bukan golonganku” (Muttafaqun alaih).
Dampak lain dari sikap boros adalah lenyapnya sikap empati dan peduli terhadap orang lain. Makan dan minum bila berlebihan, selain bersifat menyia-nyiakan nikmat Allah disaat orang lain membutuhkan, juga menimbulkan penyakit. Bukan hanya penyakit fisik, tapi penyakit mental yang menjadikan orang tidak lagi mempunyai empati dan tidak perduli terhadap kondisi orang lain. Sikap boros menjadikan hati kasar dan keras. Hati manusia akan halus dan lembut dengan rasa lapar dan sikap zuhud. Sebaliknya, hati akan menjadi kasar dan beku dengan rasa kenyang atau banyak makan. Kondisi seperti ini adalah sunnahtullah yang tak akan berubah (QS Fathir: 47). Ketika hati kasar dan keras, sikap tunduk dan pengabdian seseorang kepada Allah akan berkurang. Allah berfirman, “Celakalah bagi orang yang kasar hati dari dzikrullah” (QS Az-zumar: 22). Orang yang hatinya kasar, meski berusaha melakukan berbagai kebaikan dan ketaatan, tidak akan berhasil meraih kenikmatan dalan beribadah. Ia hanya memperoleh rasa letih dan lelah. Rasul bersabdah, “Berapa banyak orang yang bangun malam, tetapi tidak mendapat apa-apa kecuali bergadang” (HR Thabrani, dengan sanad tsiqah). Itu sebabnya, orang boros cenderung melakukan keburukan atas dosa. Inilah dampak ketiga sikap boros. Boros dalam hal makanan akan memberi energi besar dalam tubuh, yang wujudnya dapat menggerakkan perilaku yang terpendam dalam jiwa. Misalnya, meningkatnya gejolak nafsu biologis seseorang karena banyak makan. Akibatnya, sangat sulit baginya untuk bertahan agar tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Termasuk dampak sikap boros adalah kuatnya dorongan mencari harta dengan jalan haram.
Sikap boros cenderung memanjakan rongrongan hawa nafsu. Secara pribadi, orang yang terbiasa berlaku boros akan selalu menuntut kebiasaan itu agar terus dipenuhi. Ditambahi lagi dengan pengaruh istri dan anak. Istri dan anak adalah ujian. Ketika seorang muslim tidak teliti menghadap mereka, dengan mudah ia akan terpengaruh. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka hati-hatilah kamu terhaadap mereka…” (QS At-Taghabun: 14). Banyak contoh menarik untuk kita renungkan, yang diberikan para salafushalih. Misalnya kisah Saad bin Abi Waqqash. Ketika menjadi Gubernur kufah, ia pernah mengirim sepucuk surat pada Khalifah Umar ra. Isinya adalah permintaan pembangunan rumah tempat tinggal. Umar ra segera membalas suratnya dengan mengatakan, “Bangunlah apa yang dapat melindungimu dari sinar matahari dan memeliharamu dari hujan. Dunia ini sudah cukup memadai” (Hayatu shahabah, 2/286). Maimun berkisah, salah seorang keturunan Abdullah bin Umar ra meminta kepada ayahnya sehelai kain seraya berkata, “Kainku telah terkoyak.” Abdullah bin Umar ra menjawab, “Potonglah kainmu yang terkoyak, kemudian kenakan sisanya.” Pemuda itu tampak tidak senang mendengar jawaban itu. Abdullah bin Umar lalu berkata, “Celakalah engkau! Takutlah kepada Allah! Jangan sekali-kali engkau termasuk kaum yang menjadikan rezeki Allah untuk perut-perut dan punggung mereka” (Hayatu Shahabah, 2/288).

****
Ditulis ulang oleh : Budhi Tri Maryanto & Ali Nur Susanto

Sumber : Majalah Sabili No. 14 Th VI 20 Januari 1999

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Warung Soto Ayam Mulud

Feel The Taste of Our Soto!
So Delicious

By Hari
Jalan Pasar Cawas - Pedan
Sentul Cawas