Setelah muter-muter kota Yogya bersama mas Edi lalu mampir di alun-alun selatan mencari hidangan angkringan karena perut kami sudah lapar. Sebelumnya sempat muter di alun-alun utara, ternyata disana sedang ramai dengan kegiatan sekatenan, jadi tak jadi makan disana (alun-alun utara). Akhirnya mampir juga di sebuat warung angkringan, banyak orang yang sendang disana, sekelompok orang berseragam Harpindo Jaya yang sedang menikmati makan siang angkringan.
Sayang disitu tinggal nasi bungkus saja tersisa, gorengan macam bakwan dan mendoan dah habis terjual. Tak ada pilihan lain seadanya, ketika buka nasi bungkus ternyata tak ada lauk, didalam hanya sambel. Beruntung mas Edi dapat irisan tempe kecil kecil, kok punyaku tak ada "Mana tempenya?" aku bilang pada mas Edi. Waktu kubuka bungkusan berikutnya sama juga nasi sambal, wah tak ada pilihan lain makan saja. Untuns saja masih ada banyak kerupuk dan peyek kacang disitu.
Setelah selesai makan dan minum lalu bayar, ternyata lumayan murah juga cuma 9rbu, uang 10rbu dapat kembalian seribu rupiah. Namanya juga angkringan, jadi murah wajar! Coba tadi kalo mampir di sebuah resto dekat keraton wah tentu 10rbu tak cukup berdua, apalagi tadi sempat ada orang yang melambaikan tangan semacam mengundang kami agar masuk ke resto itu. Dalam hati kami berkata, "Tidak lah hari ini, mungkin lain kali saja"
Dalam perjalanan pulang mampir ke rumah mas Suraji di Tangkisan Pos, namun sampai disana ternyata rumah masik kosong. Aku tahu biasanya jam segitu belum pulang sekolah (Mas Suraji seorang guru). Perhatianku tertuju pada deretan tanaman lombok yang ditanam dalam pot plastik kecil, pemandangan yang lain. Terakhir aku kesana tanaman itu belum berbuah, kali ini sudah berbuah bahkan sebagian sudah memerah. Saat itu mas Suraji juga memberikan kepada kami satu tanaman lombok untuk dibawa pulang, namun sampai sekarang belum berbuah bahkan sudah layu. Makanya saat melihat lombok yang sudah memerah jadi terkesan. Mas Suraji bilang lombok tersebut dari Jepang, dan lucunya buahnya mencuat semua dari tunas yang paling atas. Tanamannya tergolong pendek dan daunya jarang tapi lomboknya lebih besar dari lombok jawa /rawit.
Sesaat kami berdua putuskan menuju ke sekolah tempat mas Suraji mengajar, karena kami yakin masih disana jam segitu. Memang kami akhirnya bisa bertemu disana, ngobrol di ruang tamu sekolah lalu kami juga ditawari makan di kantin. Kami berdua menghiyakan dan kami memasan mie godhok, sambil menunggu mie pesanan, kami berbincang. Mengenai keluarga dan juga sedikit menyangkut masalah pendidikan nasional di negeri ini. Selama masih terjadi penentuan jabatan Kep Sekolah dengan uang pelicin, pendidikan di Indonesia tak akan maju, kira kira semacam itulah komentar mas Suraji. Lalu aku juga menambahkan mutasi jabatan di daerah bisa dilakukan asal mau membayar sejumlah uang kepada pejabat atas. Suatu rahasia umum yang masyarakat sudah percaya meski mereka tidak di beri tahu. Menurutku saat ini memang benar demikian, beberapa orang bersedia menyediakan sejumlah uang agar bisa bekerja di pemerintahan.
Selesai percakapan kemudian shalat ashar di mushala masjid, padahal di depan mushala anak-anak sedang berlatih musik. Wah bisa bayangin kira-kira kejadian seperti apa....? Yang pasti rame dan terganggu bagi orang yang sedamg shalat. Dalam hati "Kok sepertinya telah terjadi kesalahan penempatan ruang, atau mungkin karena tak ada pilihan lain selain ruang itu".
Dirasa cukup pertemuan kami bertiga lalu kami berpamitan, lagipula keponakan kecilku belum juga menampakkan diri. Biasanya sekitar jam 3 sore sekolah usai dan diantar ke sekolah tempat mas Suraji mengajar dengan mobil langganan. Setiap bulan membayar 150 rbu untuk transport Nazhim, belum lagi biaya spp dan lainnya.
Ketika memohon diri aku lihat mas Suraji keluarkan 50rbuan dua, mungkin maksudnya aku satu mas edi satu. Saat itu aku langsung jleg, dapat Rp 100.000,-, aku tak bisa berkata, mau menolak kasihan mas Suraji, akhirnya terima saja. Mas Edi tak mau jadi 2x50rbu dikasihkan aku, Mas Suraji juga berpesan bantu mas Edi, saat itu rasanya aku ingin menangis. Kedatangan kami hanya ingin melepas rindu, karena lama kami tak berjumpa, apalagi mas Edi sudah beberapa bulan. Rupanya mas Suraji juga memikirkan kondisi kami, memang jika dibandingkan kehidupan mas Suraji saat ini lebih mapan. Sudah punya pekerjaan tetap, rumah, dan keluarga yang menjadi idaman setiap orang. Sepertinya Mas Suraji sudah bisa menikmati pekerjaannya, saat aku melihat namanya tertulis sebagai Wakasek Kurikulum aku turut senang dan bangga. Mas Suraji orangnya cenderung pendiam namun kemampuan agama dan sembahyangnya hebat paling tidak diantara keluarga kami. Mas Suraji juga sering mengisi ceramah shalat Jumat atau kultum di bulan ramadhan meski hanya di lingkungan sekitar dan sekolah.
Sayang disitu tinggal nasi bungkus saja tersisa, gorengan macam bakwan dan mendoan dah habis terjual. Tak ada pilihan lain seadanya, ketika buka nasi bungkus ternyata tak ada lauk, didalam hanya sambel. Beruntung mas Edi dapat irisan tempe kecil kecil, kok punyaku tak ada "Mana tempenya?" aku bilang pada mas Edi. Waktu kubuka bungkusan berikutnya sama juga nasi sambal, wah tak ada pilihan lain makan saja. Untuns saja masih ada banyak kerupuk dan peyek kacang disitu.
Setelah selesai makan dan minum lalu bayar, ternyata lumayan murah juga cuma 9rbu, uang 10rbu dapat kembalian seribu rupiah. Namanya juga angkringan, jadi murah wajar! Coba tadi kalo mampir di sebuah resto dekat keraton wah tentu 10rbu tak cukup berdua, apalagi tadi sempat ada orang yang melambaikan tangan semacam mengundang kami agar masuk ke resto itu. Dalam hati kami berkata, "Tidak lah hari ini, mungkin lain kali saja"
Dalam perjalanan pulang mampir ke rumah mas Suraji di Tangkisan Pos, namun sampai disana ternyata rumah masik kosong. Aku tahu biasanya jam segitu belum pulang sekolah (Mas Suraji seorang guru). Perhatianku tertuju pada deretan tanaman lombok yang ditanam dalam pot plastik kecil, pemandangan yang lain. Terakhir aku kesana tanaman itu belum berbuah, kali ini sudah berbuah bahkan sebagian sudah memerah. Saat itu mas Suraji juga memberikan kepada kami satu tanaman lombok untuk dibawa pulang, namun sampai sekarang belum berbuah bahkan sudah layu. Makanya saat melihat lombok yang sudah memerah jadi terkesan. Mas Suraji bilang lombok tersebut dari Jepang, dan lucunya buahnya mencuat semua dari tunas yang paling atas. Tanamannya tergolong pendek dan daunya jarang tapi lomboknya lebih besar dari lombok jawa /rawit.
Sesaat kami berdua putuskan menuju ke sekolah tempat mas Suraji mengajar, karena kami yakin masih disana jam segitu. Memang kami akhirnya bisa bertemu disana, ngobrol di ruang tamu sekolah lalu kami juga ditawari makan di kantin. Kami berdua menghiyakan dan kami memasan mie godhok, sambil menunggu mie pesanan, kami berbincang. Mengenai keluarga dan juga sedikit menyangkut masalah pendidikan nasional di negeri ini. Selama masih terjadi penentuan jabatan Kep Sekolah dengan uang pelicin, pendidikan di Indonesia tak akan maju, kira kira semacam itulah komentar mas Suraji. Lalu aku juga menambahkan mutasi jabatan di daerah bisa dilakukan asal mau membayar sejumlah uang kepada pejabat atas. Suatu rahasia umum yang masyarakat sudah percaya meski mereka tidak di beri tahu. Menurutku saat ini memang benar demikian, beberapa orang bersedia menyediakan sejumlah uang agar bisa bekerja di pemerintahan.
Selesai percakapan kemudian shalat ashar di mushala masjid, padahal di depan mushala anak-anak sedang berlatih musik. Wah bisa bayangin kira-kira kejadian seperti apa....? Yang pasti rame dan terganggu bagi orang yang sedamg shalat. Dalam hati "Kok sepertinya telah terjadi kesalahan penempatan ruang, atau mungkin karena tak ada pilihan lain selain ruang itu".
Dirasa cukup pertemuan kami bertiga lalu kami berpamitan, lagipula keponakan kecilku belum juga menampakkan diri. Biasanya sekitar jam 3 sore sekolah usai dan diantar ke sekolah tempat mas Suraji mengajar dengan mobil langganan. Setiap bulan membayar 150 rbu untuk transport Nazhim, belum lagi biaya spp dan lainnya.
Ketika memohon diri aku lihat mas Suraji keluarkan 50rbuan dua, mungkin maksudnya aku satu mas edi satu. Saat itu aku langsung jleg, dapat Rp 100.000,-, aku tak bisa berkata, mau menolak kasihan mas Suraji, akhirnya terima saja. Mas Edi tak mau jadi 2x50rbu dikasihkan aku, Mas Suraji juga berpesan bantu mas Edi, saat itu rasanya aku ingin menangis. Kedatangan kami hanya ingin melepas rindu, karena lama kami tak berjumpa, apalagi mas Edi sudah beberapa bulan. Rupanya mas Suraji juga memikirkan kondisi kami, memang jika dibandingkan kehidupan mas Suraji saat ini lebih mapan. Sudah punya pekerjaan tetap, rumah, dan keluarga yang menjadi idaman setiap orang. Sepertinya Mas Suraji sudah bisa menikmati pekerjaannya, saat aku melihat namanya tertulis sebagai Wakasek Kurikulum aku turut senang dan bangga. Mas Suraji orangnya cenderung pendiam namun kemampuan agama dan sembahyangnya hebat paling tidak diantara keluarga kami. Mas Suraji juga sering mengisi ceramah shalat Jumat atau kultum di bulan ramadhan meski hanya di lingkungan sekitar dan sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar