Tadi pagi ke Masjid Agung Surakarta, sampai di sana jam 11.30 lalu aku sms mas Edi memberitahu bahwa aku sudah di sana. Masuk Masjid dan mengikuti shalat Jumat, aku senang sekali dengan masjid itu, tempatnya luas dan indah. Dibanding masjid yang pernah aku kunjungi masjid itu paling berkesan padaku. Ada pendapa, ruang utama dan banyak pintu dari depan dan samping, aku membayangkan pintu-pintu itu sebagai pintu untuk masuk surga. Di ruang utama aku terkesan dengan tiang penyangga yang besar dan tinggi, bagian atas kayu jati yang diberi hiasan dan ukiran. Dalam hati bertanya, bagaimana bangunan itu dibuat pasti mereka perancangnya orang hebat. Biasanya aku ambil shaf paling depan bagian kiri, kali ini aku ambil yang paling kanan dekat jendela.
Selesai shalat Jumat, aku buka hanphone dan dapat pesan mas Edi sudah di Masjid juga bahkan beberapa saat sebelum shalat jumat. Aku cari diruang utama belum aku temukan, lalu pergi ke ruang samping tak ada dan di pintu aku lihat keluar ke pendapa dimana banyak orang disana. Aku tak melihat keberadaannya, lalu aku masuk lagi dan bermaksud kasih pesan lewat sms. Baru mau tulis pesan, aku menoleh ke kanan dan aku lihat mas Edi dan kamipun mencari tempat di Masjid yang nyaman untuk ngobrol. Kami masuk ke ruang utama dan mencari tempat yang agak tenang, dekat tembok.
Kemudian kami membicarakan masalah keluarga sampai beberap jam, lagi di luar hujan sangat deras. Sehingga percakapan kami jadi lebih bermakna, terbawa suasana, kami saling bertukar pikiran, berkeluh kesah dan berusaha mencari jalan keluar bersama. Aku memainkan peranku, memberi dukungan dan nasehat padanya, meski kadang aku juga adu argumen dengannya. Memang kami dulu kecil masih ingat tumbuh bersama, dalam keluarga, satu kamar kos, dan juga satu kampus. Membantu pekerjaan bapak di sawah adalah hal biasa namun saat itu aku belum bisa menikmati, aku melakukannya dengan terpaksa, hingga mas Edi sekolah jauh dari rumah. Tinggal aku dan adik Aku bersama adik Aku dan Mas Edi adalah dua orang yang saling berlawanan, kami adalah ibarat api dan air, Krisna dan Arjuna dalam pewayangan. Kepribadian maupun sifat kami berdua saling bertolak belakang, mas Edi adalah orang yang optimis sedang aku cenderung pesimis. Mas Edi pandai bicara, mudah mengemukakan pendapat, sementara aku cenderung diam dan banyak berpikir dalam hati. Ketika kami kuliah, mas Edi suka organisasi, namun aku tak ikut. Meski aku tahu banyak orang orang hebat lahir dari sana, namun aku saat itu tidak tertarik. Aku melihat banyak sekali biaya untuk itu, sedang kondisi keluarga kami saat itu pas-pasan.
Waktu kecil mas Edi suka sekali memabantu bapak ke sawah padahal baru masuk TK, lalu minta bapak dibuatkan peralatan yang sama untuknya. Banyak sekali para tetangga yang heran melihat kelakuannya, kecil-kecil suka membantu bapak di sawah. Bahkan aku dengar dulu pernah minta sama bapak untuk mengganti namanya yang menurutnya tidak bagus. Namanya sebelumnya Suparno, kemudian merengek minta ditambah Edi di depannya. Aku mengetahuinya baru-baru ini, andai saja saat itu ganti nama itu bisa dilakukan tentu aku juga ingin ganti nama yang lebih bagus, biar terlihat keren. Ya nama sangat membawa dampak psikologis bagi pemilik, meski kadang nama yang bagus belum tentu sebagus orangnya, baik fisik maupun pribadi di dalamnya. Banyak para pelaku tindak kriminal, korupsi memiliki nama yang bagus sehingga banyak orang kemudian mulai berkomentar "perilaku tidak sesuai dengan namanya".
Jadi teringat kisah Parikesit dalam pewayangan, ketika perang baratayudha telah selesai. dan Pandawa memenangkan perang baratayudha, Parikesit cucu Arjuna lahir dan saat itu sang Parikesit kecil menangis terus. Tak ada seorangpun di lingkungan keputren yang tidak mampu membuat tangisnya mereda. Hingga kemudian para pandawa satu persatu berusaha membuat tangisnya mereda. Bahkan sang Kresna juga tak mampu meredakan tangisnya, diantara para tokoh disitu belum bisa meredakan tangis sang Parikesit. Hingga terakhir Puntadewa yang direncanakan naik tahta di Astina berujar, "Cup ngger menenga, yen gelem meneng kwe mbesok tak wenehi keprabon Astina". Bersamaan itu diikuti suara guntur, juga disaksikan para satria pandawa beserta sahabat manca dan Parikesitpun diam. Kelak besar sang Parikesit cucu Arjuna menjadi raja di Astina, dimana semestinya yang berhak naik tahta adalah putera Puntadewa. Janji seorang raja Puntadewa pun ditepati dan jadilah sang Parikesit sebagai raja Astina.
Ketika hujan mereda, kami berkemas untuk pulang, tapi motorku gak mau jalan setelah kehujanan bebrapa jam. Seperti biasa, kalo masuk air di mesin lalu motor ngadat, meski kuperbaiki sebentar tetap tak mau jalan. Aku tahu permasalahan seperti itu biasa di karburasi yang kemasukan air, namun aku juga membongkar busi, untuk memastikan bahwa busi itu masih bagus. Lagi bebrapa orang yang aku temui disitu menyarankan demikian, akhirnya aku menyerah. Aku mengalir dengan suasana, apa yang dikatakan mas Edi aku ikut, meski dalam hati aku mencari sebuah bengkel terdekat. Masalahnya disekitar masjid Agung tak ada bengkel motor, hingga kami haru jalan beberapa kilo meter mencari bengkel. Di tengah perjalanan ke bengkel kami juga masih berusaha stater, namun hasilnya masih nihil. Lalu mas Edi yang berjalan didepan lihat bengkel dan motorpun aku bawa kesana. Kulihat montirnya pake baju PDI membongkar karburasi, aku melihat apa yang dia lakukan untuk memastikan bahwa air benar-benar masuk disana. Memang demikian, saat dipasang balik dan di stater, mesin bisa jalan, aku pikir wah kebetulan. Sudah lama tak servis karburasi, dalam hati pasti nanti tarikan lebih baik lagi. Setelah membayar ongkos lalu aku coba keluar ke jalan, aku menunggu seorang ibu yang sedang mengayuh sepeda. Aku bermaksud menunggu sehingga dia berlalu kemudian aku baru berjalan, namun yang terjadi adalah aku maju sedikit dan sang ibu lurus saja tanpa membelokan sepedanya sedikit ke kana. Dan kresss, sang ibu jatuh ruji sepeda depan sangkut di rem kaki motor hingga sang montir membantu untuk melepaskan. Aku memohon maaf pada sang ibu, kesalahanku saat itu aku kurang sabar menunggu sang ibu melintas. Sedangkan sang ibu tak mampu membelokkan sepedanya sedikit ke kanan, untung saja sepeda melaju pelan. Aku juga memaklumi, ibu itu sudah usia tua sehingga respon untuk menghindarnya jadi lambat atau mungkin juga karena dia seorang wanita. Tabrak saja tak usah belok! Meski ibu sedikit marah aku tahu dia juga baik, jadi urusan kami selesai dan saat mendahului dia yang sudah di depan duluan aku menyapa seraya tersenyum. Dari raut mukanya aku tahu beliau memaafkan kesalahanku tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar